Hari ini tanggal 13 Desember. Hari keberangkatan kami dari Lamba menuju Maumere. Seharusnya demikian, tetapi:
“Bacakan Om, bacakan lagi berita itu. Bacakan lagi, bacakan, bacakan,” pintaku pada mantri Rene, yang memegang koran dengan tangan bergetar.
“Harus berapa kali om baca, Pandong?” tukas mantri Rene, suaranya bergetar, mencerminkan ketegangan yang menyelimuti ruangan. Di sekelilingku, wajah-wajah yang penuh harapan beradu dengan keraguan, menciptakan suasana yang menyesakkan.
Lukas, Rikus, Mendeng, om Lukas, tante Beti, romo Leo, dan om Rius, mengelilingi ranjangku, seolah bersatu dalam rasa cemas yang menggelayut di udara.
“Bacakan, bacakan lagi. Tolong bacakan lagi. Saya tidak percaya berita itu. Benarkah berita itu, om mantri?” tanyaku, suara bergetar, kepalaku berputar dalam badai kebingungan. Hari ini seharusnya menjadi awal dari kebahagiaanku. Sebab aku akan berangkat ke Maumere, mengawini Koja, cintaku yang selama ini kutunggu. Namun, berita itu—berita yang menusukku seperti sabetan pedang—merenggut semua kebahagiaan dalam sekejap.
“Pandong, kau harus tenang,” kata mantri Rene, berusaha menenangkan, meskipun suaranya bergetar, seakan merasakan beratnya beban yang kutanggung. “Berita ini… berita ini memang tak pernah kita duga datangnya.”
“Baca, Om. Baca!” desakku, mataku tak lepas dari koran yang terlipat, seolah harapku bisa terlahir kembali dari kata-kata yang tertulis di sana.
Mantri Rene menarik napas dalam-dalam, menatapku sejenak, sebelum akhirnya membuka koran itu lagi dengan tangan yang bergetar. “Dalam berita terbaru, tsunami menerjang kota Maumere… gelombang setinggi tiga puluh enam meter… menghancurkan rumah dan merenggut ribuan nyawa…”
Setiap kata yang keluar dari bibirnya seperti belati yang menusuk jantungku. Aku bisa rasakan wajahku memucat, dan seisi ruangan terasa berputar, seolah aku terjebak dalam lingkaran waktu yang kejam.
“Tidak mungkin! Tidak mungkin Koja ada di sana saat ini!” teriakku, suaraku nyaris tak terdengar, terbenam dalam rasa panik yang tak tertahankan.
Lukas menggenggam tanganku, “Kita harus mencari tahu lebih lanjut, Pandong. Mungkin… mungkin ada harapan.”
“Harapan?” ucapku, getir, air mata mulai menggenang di sudut mataku. “Apa harapan yang tersisa ketika laut menghancurkan segalanya? Ketika semua impian kita terhempas dalam satu terjangan? Semua yang kita bangun, semua yang kita impikan, hancur dalam sekejap! Lagi pula kata Koja dalam suratnya, Rumah Sakit tempat perawatannya tidak berjarak jauh dari bibir pantai. Apa yang bisa diharapkan? Huh? Apa?”
Rikus menatapku, matanya berkaca-kaca. “Pandong, kita tidak boleh menyerah. Mungkin Koja selamat. Mungkin dia sedang mencari kita saat ini.” Dan aku tahu, itu tak akan mungkin terjadi. Tidak akan. Tidak akan. Tidak akan.