Dan keberuntungan, sekali lagi, menjauh dariku. Kini dia sudah pergi. Kabar itu aku dapat pada tanggal 13 Desember ketika aku di Lamba. Dari koran kota yang dibeli mantri Rene. Sebuah gempa dan tsunami telah menyapu Maumere, pada 12 Desember 1992, siang hari.
Harus kuakui, aku berusaha untuk tetap kuat. Sekuat mungkin. Istriku sudah tersapu lautan. Laut, ciptaan Tuhan yang begitu Koja sukai. Oh Tuhan, sambutlah dia dan keluarganya di sana. Dan perkuatkan diriku. Semoga tetap kuat jiwa dan raga ini.
Dalam duka, aku mengenang. Kisah ini kemudian aku dapat dari ibu Maria, salah seorang warga yang selamat dari terjangan air laut itu. Aku mendatanginya beberapa hari setelah tsunami dalam rangka mencari tubuh Koja yang barangkali berada di antara puing-puing bangunan yang hancur.
Setelah aku rangkum kembali, begini kira-kira:
Di sebuah pagi yang cerah di Maumere, saat embun masih menempel di daun-daun, kehidupan berjalan dengan ritme yang tenang. Para nelayan mulai mempersiapkan perahu-perahu mereka, anak-anak berlarian di tepi pantai, dan aroma ikan segar menyelimuti udara. Hari itu tampak seperti hari biasa, tanpa firasat bahwa bumi sedang menyiapkan sebuah pelajaran yang mengerikan.
Namun, di dalam perut bumi, kekuatan yang tidak terlihat mengumpulkan energi. Beberapa detik sebelum bencana melanda, suasana seolah terhenti. Angin berhenti berhembus, dan laut tampak lebih tenang dari biasanya. Tiba-tiba, ketika matahari mulai menjangkau puncaknya, guncangan pertama datang. Gempa bumi berkekuatan 7,8 skala Richter mengguncang Maumere dengan kekuatan yang menghancurkan.
Tanah bergetar hebat, seolah-olah marah, dan suara gemuruh mengisi udara. Dinding-dinding rumah bergetar, dan atap-atap rumah berderak, menciptakan simfoni kehancuran. Warga yang sedang beraktivitas terkejut, berlarian ke luar rumah, wajah-wajah mereka dipenuhi ketakutan. Beberapa orang terjatuh, kehilangan keseimbangan, sementara yang lain berpegangan pada apa pun yang bisa mereka raih.
Di tengah kepanikan itu, para nelayan yang baru saja bersiap untuk melaut merasa ada sesuatu yang aneh. Laut tiba-tiba surut, seolah menyiapkan panggung bagi bencana yang lebih besar. Mereka yang berpengalaman tahu, ini adalah tanda-tanda yang menakutkan. Jeritan peringatan mulai terdengar, tetapi sudah terlambat. Dalam hitungan detik, gelombang tsunami yang ganas meluncur ke arah pantai.
Gelombang setinggi gedung itu datang dengan kecepatan yang mengerikan. Seperti monster purba yang bangkit dari dalam laut, tsunami itu menerjang Maumere tanpa ampun. Suara dentuman itu menghancurkan ketenangan siang, menggantinya dengan teriakan ketakutan dan kehampaan. Air yang mengamuk menyeret segala sesuatu yang ada di jalannya—rumah, pohon, dan jiwa-jiwa yang tak berdaya.
Anak-anak yang bermain, nelayan yang baru saja melaut, dan orang-orang yang sedang berbelanja, semua tersapu oleh arus yang tak kenal ampun. Beberapa berusaha menyelamatkan diri, tetapi gelombang itu tidak memberikan ampun. Dalam sekejap, kota yang hidup, yang penuh tawa dan harapan, berubah menjadi lautan kesedihan dan kehilangan.