Orang-Orang Bloomington

Noura Publishing
Chapter #3

Laki-Laki Tua Tanpa Nama

Fess bukanlah jalan yang panjang. Hanya ada tiga rumah di sana, masing-masing mempunyai loteng dan pekarangan yang agak luas. Karena tertarik sebuah iklan, saya menyewa loteng rumah tengah, milik Ny. MacMillan. Ny. MacMillan sendiri tinggal di bawah. Dengan demikian, saya dapat melihat baik rumah Ny. Nolan maupun rumah Ny. Casper.

Seperti Ny. MacMillan, kedua tetangga ini sudah lama menjanda. Karena tidak menceritakan hal-ikhwalnya sendiri, saya tidak tahu mengapa Ny. MacMillan tidak mempunyai suami. Menurut dia, Ny. Nolan menjanda karena tabiatnya sendiri yang kasar. Ketika Ny. Nolan masih muda dan baru saja kawin, suaminya sering digempur. Akhirnya, dengan jalan semena-mena Ny. Nolan menitahkan suaminya agar minggat, dan diancam akan digempur lagi kalau menunjukkan niat kembali. Semenjak pengusiran itu Ny. Nolan tidak menunjukkan gejala ingin tinggal dengan siapa pun.

Ny. Casper mempunyai riwayat lain. Dia tidak begitu peduli pada suaminya, seorang pedagang keliling yang agak jarang tinggal di rumah. Apakah suaminya sedang di rumah atau sedang di tempat lain, dia tidak menunjukkan gejala yang berbeda. Begitu juga ketika suaminya meninggal karena kecelakaan mobil di Cincinnati, dia tidak menunjukkan pertanda susah maupun gembira.

Hanya itulah yang saya ketahui karena hanya itulah yang diceritakan Ny. MacMillan. Janganlah mengurusi kepentingan orang lain dan janganlah mempunyai keinginan tahu tentang orang lain, inilah pesan Ny. MacMillan setelah menutup ceritanya mengenai kedua tetangganya. Hanya dengan jalan demikian, katanya, kita dapat tenang.

Bahkan, dia selanjutnya memesan, supaya hubungan baik antara dia dengan saya tetap baik, saya hanya boleh bercakap dengan dia bilamana perlu, itu pun harus melalui telepon. Karena itu, katanya, saya harus segera memesan telepon. Sebelum perusahaan telepon memasang telepon saya, dia melarang saya mempergunakan teleponnya, karena, katanya, toh tiga blok dari Fess ada sebuah telepon umum. Selanjutnya, dia mengatakan bahwa kunci yang dipinjamkan kepada saya hanya bisa dipergunakan untuk pintu samping, sedangkan kuncinya sendiri untuk pintu depan. Dengan jalan keluar-masuk yang berbeda, masing-masing tidak akan terganggu. Dan, setiap bulan, katanya kemudian, saya harus memasukkan cek ongkos sewa loteng ke dalam kotak posnya, sementara saya sendiri dapat mempergunakan kotak pos lain yang terletak di pinggir rumah. Mula-mula syarat ini memang sangat menyenangkan karena saya sendiri tidak suka diganggu.

Selama musim panas saya tidak mengalami kesulitan. Waktu dapat saya gunakan untuk kuliah, ke perpustakaan, jalan-jalan, masak, dan sekali tempo melamun di Dunn Meadow, sebuah lapangan rumput yang tidak pernah sepi. Beberapa kali saya berpapasan dengan Ny. Nolan dan Ny. Casper. Karena masing-masing tidak menunjukkan gejala ingin mengenal saya setelah saya berusaha mendekatinya, saya pun menjadi enggan berbicara dengan mereka.

Setelah musim panas siap digantikan oleh musim gugur, keadaan saya berubah. Berbeda dengan musim panas, menjelang musim gugur Kota Bloomington dibanjiri oleh kedatangan lebih kurang tiga puluh lima ribu mahasiswa, baik yang baru maupun yang selama musim panas meninggalkan kota. Tapi, sepanjang pengetahuan saya, tidak ada satu pun yang tinggal di Fess dan sekitarnya. Bloomington menjadi ramai, tapi Fess tetap sepi. Kecuali itu, makin lama hari makin pendek matahari makin terlambat terbit dan makin cepat terbenam. Dan kemudian, daun-daun menguning, lalu berdikit-dikit rontok. Bukan hanya itu hujan juga sering datang, kadang-kadang diantar oleh kilat dan halilintar. Kesempatan keluar makin tipis. Baru dalam keadaan seperti ini saya banyak memperhatikan Fess. Baik Ny. MacMillan, Ny. Nolan, Ny. Casper sering menggusuri daun-daun yang gugur di pekarangannya, lalu menempatkan daun-daun itu di kantong plastik besar, memasukkannya ke dalam mobil, lalu mengantarkannya ke tong sampah umum lebih kurang tujuh blok dari Fess.

Ny. Nolan mempunyai kebiasaan yang menarik. Kalau dia sedang berada di pekarangan dan ada binatang berkelebat di sana, tidak segan-segan dia melempar binatang-binatang itu dengan batu yang rupanya sudah disiapkan. Tanpa membidik, lemparannya pasti mengenai sasarannya. Beberapa kelelawar yang bergelantungan di ranting-ranting rendah sempat dihabisi nyawanya, demikian juga pelbagai macam burung yang secara kebetulan mampir di pekarangannya dan hinggap di tempat-tempat yang dapat dicapai oleh lemparan batu Ny. Nolan. Bukan hanya kepandaian Ny. Nolan melempar yang mengagumkan, melainkan juga tenaganya yang luar biasa, yang sanggup mencabut nyawa dan melukai sekian banyak binatang. Perbuatannya ini tentu saja dapat dihukum, tapi saya heran mengapa dia tidak pernah sembunyi-sembunyi pada waktu melempar. Hanya saja saya tidak tahu ke mana dia membuang mayat-mayat binatang celaka itu. Saya yakin baik Ny. MacMillan maupun Ny. Casper tahu perbuatan Ny. Nolan ini, tapi saya tidak heran mengapa mereka membiarkannya tanpa berusaha menegur atau melaporkannya kepada polisi. Rupanya dengan jalan saling membiarkan inilah mereka dapat menjaga hubungan baik.

Meskipun tidak mempunyai keistimewaan seperti Ny. Nolan, Ny. Casper tidak dapat saya lewatkan begitu saja. Dia sudah tua, kadang-kadang tampak sakit, dan jalannya agak oleng kalau sedang kelihatan sakit. Kalau sedang tampak sehat, dia dapat berjalan cepat. Saya sering membayangkan, andaikata dia lari pun dia dapat lari kencang.

Ketiga janda ini kadang-kadang berbelanja di Marsh, sebuah toko kecil yang menjual makanan mentah dan makanan jadi, tidak jauh letaknya dari telepon umum. Di daerah sesunyi ini tentu saja toko ini tidak mempunyai banyak langganan. Mungkin pemilik toko sendiri tidak mengharap banyak langganan. Pokoknya tokonya bisa jalan, rupanya dia sudah puas. Seperti suasana di sekitarnya, pemilik toko ini tidak ramah, dan hanya berbicara seperlunya. Saya sendiri berbelanja di sana kalau terpaksa, kalau secara kebetulan saya berhalangan pergi ke College Mall, tempat toko-toko murah yang jauh dari Fess.

Untuk memerangi kesepian, kadang-kadang saya membuka-buka buku telepon. Dari situ saya mengetahui nomor-nomor Ny. Nolan, Ny. Casper, dan Toko Marsh. Lama-kelamaan, setelah musim gugur berjalan tambah jauh, hari-hari makin pendek, angin kencang makin banyak berdatangan, demikian juga hujan disertai kilat dan halilintar, saya bunuh kesepian ini dengan main-main telepon. Mula-mula saya suka menelepon rekaman yang menjelaskan waktu, temperatur, dan ramalan cuaca. Mula-mula cukup, lama-kelamaan kurang memberi manfaat. Saya mulai menelepon beberapa teman kuliah. Seperti halnya di kampus, di telepon mereka juga berbicara seperlunya, hingga akhirnya saya kehabisan akal mencari bahan pembicaraan. Akhirnya saya menelepon Marsh, menanyakan apakah dia menjual pisang, apel, spageti, atau apa saja, yang akhirnya menjengkelkan pemiliknya. Ny. MacMillan pun rupanya tidak senang kalau saya menelepon dengan alasan yang saya ada-adakan. Seperti pemilik toko, rupanya dia juga tahu bahwa sebetulnya saya tidak mempunyai alasan berbicara.

Akhirnya pada suatu malam hujan saya menelepon Ny. Nolan, menanyakan apakah saya dapat membantu membersihkan pekarangannya. Ternyata dia bukan saja heran, melainkan juga berang. Dia menanyakan apakah pekarangannya kotor dan menjijikkan. Ketika saya menjawab “tidak”, dia menanyakan apakah saya mempunyai maksud tersembunyi di belakang tawaran saya. Setelah saya katakan mungkin dia memerlukan bantuan saya, dia bertanya apakah dia tampak sakit atau loyo, kok, saya menawarkan jasa membantunya. Tentu saja saya menjawab bahwa dia tampak sehat-sehat. Dan, dia pun menjawab, “Kalau saya memerlukan bantuan seseorang, tentu saya akan memasang iklan.” Dengan adanya pembicaraan ini saya tidak berani menelepon Ny. Casper.

Pada satu malam gerimis, terjadi perubahan di loteng Ny. Casper. Ada sebuah lampu menyala di sana. Setiap malam lampu itu menyala. Kemudian, saya tahu bahwa di loteng itu tinggal seorang laki-laki tua sekitar enam puluh lima tahun. Setiap siang dia menongolkan kepalanya melalui jendela dan membidik-bidikkan sebuah pistol ke tanah, seperti seorang anak kecil yang sedang main-main. Saya yakin yang dipegangnya itu bukan pistol mainan. Kalau saya benar, laki-laki ini bisa mendatangkan bencana. Maka, saya pun menelepon Ny. MacMillan. Dia mengucapkan terima kasih atas pemberitahuan saya, tapi dia berusaha menutup pembicaraan dengan ucapan demikian, “Kalau memang benar di loteng Ny. Casper ada penghuni baru, itu urusan Ny. Casper sendiri. Anda tinggal di sini, itu pun urusan saya sendiri. Kalau memang benar laki-laki itu memiliki pistol, tentu dia memilikinya dengan izin polisi. Kalau dia tidak mempunyai izin, tentu pada suatu hari dia akan ditahan.”

Saya cepat mengajukan protes sebelum dia sempat menutup telepon, “Kalau terjadi apa-apa, bukankah kita yang kena celaka?”

Ny. MacMillan pun menjawab, “Kalau kita tidak mengganggu dia, mana mungkin akan terjadi apa-apa?” Dan, pembicaraan terhenti di sini.

Dengan alasan akan membeli susu, esok paginya saya berjalan ke Marsh. Tentu saja saya tidak melewatkan kesempatan menengok kalau-kalau saya bisa membaca sebuah nama di kotak surat Ny. Casper. Tapi, tidak ada nama baru di sana. Pada waktu membayar susu, saya berkata kepada pemilik toko, “Rupanya ada seorang penghuni baru di rumah Ny. Casper.”

“Ya, sudah beberapa kali dia membeli donat di sini.”

“Siapa namanya?” tanya saya.

“Mana saya tahu?” jawabnya sambil mengangkat bahu.

Secara kebetulan, pada waktu pulang dari Marsh saya berpapasan dengan Ny. Nolan. “Tahukah, Ny. Nolan, ada seorang penghuni baru di rumah Ny. Casper?” tanya saya. “Ya, saya tahu,” kata Ny. Nolan tanpa menunjukkan nafsu berbicara lebih lanjut. Sayang, keinginan saya berpapasan dengan Ny. Casper tidak terkabul.

Setelah agak lama ragu-ragu, malam itu saya menelepon Ny. Casper. “Ny. Casper, saya lihat ada penghuni baru di loteng Anda.”

“Ya, saya menyewakan loteng saya. Mengapa kau bertanya, Anak Muda?”

“Kalau dia memerlukan teman, saya bersedia berkenalan dengan dia,” kata saya.

“Baiklah, akan saya beri tahu dia. Berapa nomor teleponmu, Anak Muda? Kalau memang dia berminat, saya anjurkan dia menelepon kau.”

Setelah memberikan nomor telepon saya, saya menanyakan nomor telepon laki-laki tua itu. Ny. Casper menjawab bahwa laki-laki tua itu tidak mempunyai telepon, dan tidak tahu apakah dia mempunyai rencana akan memasang telepon.

Ketika saya menanyakan nama laki-laki tua itu, Ny. Casper mengatakan tidak tahu. “Andaikata dia membayar sewa loteng dengan cek, tentu saya tahu namanya. Tapi, dia membayar saya dengan uang kontan. Dia hanya mengatakan bahwa dia dulu ikut perang dunia kedua. “Maka, terhentilah percakapan dengan Ny. Casper di sini.

Selanjutnya keadaan berjalan seperti biasa, kecuali cuaca yang makin buruk dan temperatur yang makin dingin. Setiap hari laki-laki tua itu tetap membidik-bidikkan pistolnya, dengan sasaran sebuah batu besar di bawah pohon tulip, dan tanpa memuntahkan peluru. Dan, setiap malam lampu loteng Ny. Casper tetap menyala. Sementara itu, saya tidak pernah menerima telepon dari laki-laki tua itu. Dan, saya tidak pernah secara kebetulan berpapasan dengan dia. Sepanjang pengetahuan saya dia tidak pernah keluar rumah, dengan demikian saya tidak mempunyai alasan mengejar dan pura-pura bertemu secara kebetulan.

Pada suatu siang ketika udara sedang sangat buruk, saya menelepon ke kantor telepon, menanyakan apakah di Fess ada seseorang yang baru memasang telepon.

“Siapa nama orang itu?” tanya pegawai telepon.

“Saya tidak tahu. Pokoknya dia tinggal di Fess.”

Lihat selengkapnya