Galaxia menatap jam tangan Casio dilengannya, sudah pukul 02 dini hari, dia sama sekali belum ada memejamkan mata sedetik pun. Dia membolak-balikan tubuhnya di tempat tidur di kamarnya dilantai dua rumah merreka itu. Dadanya terasa sangat sakit dan sesak karena kesulitan menarik nafas, sepertinya asmanya kambuh.
Dia sudah merasakannya sejak awal sore kemarin, tetapi dia memang sengaja tidak mau memberitahu kedua orang tuanya, karena kasihan melihat mereka harus mengurusnya sejak sore hari dan sampai saat ini dia memang tidak mau membangunkan mereka.
Apalagi sore hari tadi dia sudah minum Teosal untuk meredakan serangan asmanya yang sudah mulai terasa.
Namun ketika jam ditangannya sudah hampir menunjukkan pukul 03 dini hari, rasa sakitnya itu sudah tak mampu lagi ditahannya dan kesulitan bernafasnya semakin menjadi-jadi dan hampir tidak mampu dikendalikannya lagi.
Dia sudah hampir tidak mampu duduk lagi, sehingga dia memanggil kedua orang tuanya dari lantai atas.
“Pak. Mak,” panggilnya perlahan beberapa kali.
Untunglah kedua orang tuanya ini sangat sensitif dengan suara. Jangankan suara berisik, suara jarum jatuh saja mampu mereka mendengarnya jika suasana sepi seperti ini. Sehingga meskipun panggilannya sebenarnya lebih menyerupai sebuah suara lirihan, tetapi masih juga di dengar oleh mereka.
Yang pertama terdengar langkah kaki naik dengan buru-buru adalah langkah ayahnya. Hal ini dia ketahui karena langkah kaki ayahnya sangat cepat dan sentakannya sangat kuat, sementara mamanya pasti naik dengan perlahan-lahan bahkan sering tidak mampu naik ke lantai dua karena ada gejala lemah jantung.
“Ada apa, Nak?” terdengar suaranya ayahnya memanggil dari depan kamar tidurnya.
“Nafasku, Pak. Sesak.”
“Apakah sakit Asma mu kambuh?” tanya ayahnya dari luar pintu kamar.
Karena bagai,mana pun anak gadisnya sudah besar, sehingga ayahnya sangat hati-hati dengannya.
“Ya, Ayah.”
“Sakit benarkah?”
“Ya,” jawabnya lemah.
“Kamu mampu buka pintu?”
“Dorong saja, pak. Tidak ku kunci.”
Ayahnya mendorong pintunya perlahan dan berjalan mendekatinya ke arah tempat tidurnya yang terbuat dari ranjang besi. Ayahnya lalu merasa keningnya kemudian mengurut bagian punggungnya sebentar.
“Kita berobat saja ke rumah sakit, ya Nak?” saran ayahnya dengan suara penuh khawatir.