Galaxia sedang berada di dalam WC, ketika dia mendengar ayahnya baru saja pulang dari pasar sayur. Mamanya sudah bangun dan tadi ketika Galaxia lewat menuju WC dia melihatnya sedang duduk minum teh di meja makan, karena teh, kopi, dan susu pagi-pagi telah disiapkan oleh Papanya.
WC mereka berada di bagian paling belakang di sebelah dapur, sementara meja makan mereka berada di bagian lain dari ruang itu sehingga kalau mau ke WC harus melewati meja makan.
Dapur, meja makan dan WC berada di satu ruangan yang ukurannya 4 x 8 meter, di mana 2 x 3 meter dijadikan dua buah WC dengan bak mandi menyatu yang hanya dihubungkan dengan sebuah terusan kecil selebar telapak tangan dengan panjang 70 centimeter di dasar baknya.
Dua buah WC ini sengaja dibuat ayahnya sebanyak itu dengan pertimbangan agar mereka tidak selalu berebut jika ada yang mau menggunakannya, karena artinya satu WC untuk tiga orang.
Pintu WC-nya agak tinggi, yaitu sekitar 2,2 meter, untuk antisipasi kawan-kawan ayah yang ada beberapa dari luar negeri dan sering tidur numpang di rumah mereka jika ada keperluan di Indonesia.
Ventilasi WC-nya terbuat dari kayu mengkirai, sehingga pembicaraan di luar WC akan terdengar dengan sangat jelas di dalam. Untuk menghilangkan bau tidak sedap orang yang buang air besar, di bagian belakang WC di buat juga ventilasi dengan lebar sekitar 60 cm dan panjang 2 meter.
Kebetulan arah angin bertiup dari belakang rumah, maka bau tidak sedap dari dalam WC jarang tercium di dapur dan meja makan mereka.
Mereka tidak mempunyai pembantu ataupun menerima anak sekolah numpang mondok, selain tujuannya untuk menghemat biaya hidup, juga kedua orang tuanya berharap dengan tanpa pembantu maupun anak sekolah yang numpang maka mereka terlatih bekerja di rumah.
Karena mereka semua sudah pada besar dan harus terlatih bekerja masalah kerja rumahan, kata Mama dan Papanya.
“Tidak masuk akal harga pisang di pasar itu,” terdengar ayahnya agak menggerutu.
“Berapa sih harganya, Pa?” tanya Mamanya penasaran.
“Setengah sisir harganya dua puluh ribu rupiah untuk pisang masak hijau, Empat Puluh Hari dan Pisang Emas. Sementara untuk pisang kepok, satu kilonya lima ribu rupiah.”
“Setengah sisir?” terdengar mamanya keheranan.
“Ya. Satu sisir itu mereka bagi dua dan dijual dua puluh ribu rupiah per setengah sisirnya.”
“Mungkin juga modal mereka sudah mahal, maklumlah sekarang ini apa-apa itu pada mahal,” komentar Mamanya mencoba memahami alasan para penjual itu menjual pisang mereka dengan harga tinggi.
“Saya kan kemarin baru pulang dari daerah,” sahut Ayahnya menyebutkan sebuah kecamatan yang berjarak sekitar 60 km dari kota kecil tempat tinggal mereka ini.
“Kebetulan ketika berada di sana, tanpa sengaja aku ada ketemu mereka yang membeli pisang dari para pekebunnya. Satu tandannya mereka beli hanya dengan harga berkisar 15 ribu sampai 20 ribu rupiah.
Padahal satu tandan itu bisa berisi 5 sampai dengan 7 sisir buah, bahkan terkadang bisa belasan sisir jika sangat subur. Itu artinya satu sisir itu harga modalnya paling banter hanya sekitar 2,900 rupiah dan setengah sisirnya berharga 1.450 rupiah saja, sementara mereka menjualnya seharga 20 ribu rupiah.”
“Kalau begitu memang mereka menjualnya dengan sangat mahal,” tukas Mamanya membenarkan ayahnya.
“Sebenarnya itu sih hak mereka. Tetapi yang Papa kurang suka, adalah mereka sama sekali tidak mau ditawar dan kalau sudah tidak lalu mereka bahkan sanggup membiarkannya sampai busuk dan lalu membuangnya begitu saja di bak sampah.”
“Itu memang keterlaluan, mungkin mereka sengaja menaikkan harganya segitu karena melihat begitu banyak orang yang peduli dengan pencernaannya. Sehingga banyak yang mencari buah pisang untuk membantu melancarkan pencernaan.”
“Melihat hal seperti itu tadi, Papa terpikir kita tanam pisang sendiri saja,” terdengar ayahnya seperti berbicara sendiri.
“Tanam? Mau ditanam di mana, Pa?” tanya Mamanya keheranan.