Pagi itu ayah Galaxia sepertinya sibuk mengetik dan tidak lama kemudian mencetak beberapa lembar kertas lagi. Lalu beberapa lembar kertas itu dirapikannya dan dijilidnya menjadi enam buah jilidan. Sehingga ketika istrinya melewatinya ketika mau memberikan kucing makan di luar rumah, dia jadi tertarik.
“Proposal lagikah, Pa?”
“Ya, Mam.”
“Ke siapa lagi?”
“Ini ke Dinas Pendidikan Provinsi dan ke Gubernur.”
“Diknas Provinsi dan Gubernur? Maksud Papa, proposalnya dibuatkan juga ke Provinsi?”
“Ya, Mam.”
“Siapa yang antar ke sana?”
“Galaxia.”
“Hah? Papa suruh dia antar sendiri?”
“Kan di Pontianak ada Abangnya, mereka berdua bisa antar ke Diknas Provinsi dan kantor Gubernur.”
“Papa sudah hubungi Abangnya?”
“Belum. Nanti setelah ini selesai semuanya dipersiapkan dan Galaxia juga sudah bangun dan menanda-tanganinya.”
“Oooh?” Tapi itu kan sepertinya ada enam rangkap? Untuk siapa saja? Kan tadi Papa bilang hanya untuk Diknas Provinsi dan Gubernur saja?”
“Masing-masing satu rangkap kita simpan sebagai kenangan. Masing-masing satu rangkap akan Papa kirimkan via Pos. Sementara masing-masing satu rangkapnya lagi, Galaxia antar sendiri bersama Abangnya.”
“Lalu kapan Galaxia turun ke Pontianak?” tanya Mamanya masih bingung.
“Rencana Papa besok malam. Hari ini booking tiketnya dulu.”
“Sudah di booking?”
“Belum.”
“Harus cepat, takut Galaxia tidak dapat kursi yang bagus.”
“Kalau tidak ada kursi tunggal, kita bisa undurkan ke hari berikutnya,” tukas ayah Galaxia.
Karena khusus untuk anak gadisnya ini, ayah Galaxia selalu memesankan kursi tunggal untuknya. Karena kalau kursi dobel, dikhawatirkan terkena pelecehan kalau kawan satu bangkunya laki-laki.
Walaupun belum juga orang yang sebangku dengannya nanti pasti jahat. Tetapi sebagai orang tua dia selalu antisipasi, karena perjalanan ke Pontianak dari kota mereka itu perlu waktu sekitar sepuluh jam.
“Iyalah, Pa.”
Mama Galaxia lalu meneruskan kegiatannya memberi kucing makan, sementara ayah Galaxia menyelesaikan pekerjaannya dalam mengurus proposal untuk Galaxia. Kurang lebih satu jam kemudian, Galaxia bangun dari tidurnya dan ayahnya memberitahunya untuk menanda-tangani proposal itu.
***
Pagi itu cuaca kota Pontianak tampak cerah, sehingga sangat baik untuk bepergian keluar. Galaxia sudah lama bangun, tetapi dia tidak bisa berangkat karena abangnya belum bangun juga dari tempat tidurnya.
“Bang ... Bang …. Bang …,” panggil Galaxia dari luar kamar abangnya sambil mengetuk pintu kamar tidurnya.
“Ngapa agik,” sahut Abangnya dengan bahasa daerah dari dalam, terdengar sekali suaranya agak malas-malasan.
“Kan Abang janji antar aku ke Diknas Provinsi dan kantor Gubernur,” Jelas Galaxia agak berteriak.
Karena kamar abangnya di rumah bibi mereka ini hampir tertutup semuanya. Dia pun tidak paham akan pola pikir abangnya, karena ventilasi semuanya ditutup dan kamarnya juga tertutup, hanya kipas angin saja di dalam kamarnya yang hidup terus sepanjang waktu.
Ayahnya sering cerita jika dia sudah beberapa kali menegur abangnya, mengingatkan jika kelakuannya itu adalah akan membuatnya kekurangan oksigen. Memang dalam jangka pendek tidak terasa, tetapi dalam jangka panjang akan berakibat buruk baginya.
Tetapi abangnya tetap tidak pernah peduli, sehingga ayahnya mengatakan jika otaknya konslet. Bagaimana seorang mahasiswa tidak paham akan arus angin melalui ventilasi? Jika ruangannya ber-AC, masih tidak apa-apa, karena arus dan aliran udara diatur oleh sistem pendingin ruangan itu.