Sampai beberapa bulan kemudian, semua proposal yang mereka ajukan sebagai permohonan bantuan untuk keberangkatan Galaxia ke Kathmandu tidak ada yang mendapatkan respons yang menjanjikan.
Baik yang diajukan dengan surat resmi kepada Pemerintah Daerah dan Pusat, maupun melalui pesan WA yang dikirimkan kepada para keluarga juga tidak ada yang ditanggapi.
Sehingga membuat Galaxia sangat bersedih, karena mimpinya untuk mengikuti seminar itu sepertinya tidak tercapai. Padahal itu sangat penting bagi perkembangan dirinya ke depan.
Memang benar kata ayahnya yang sering bilang bahwa uang itu tidaklah bersaudara. Keluarga ayahnya dan ibunya yang mempunyai harta sampai milyaran rupiah pun jangankan membantu, pesan WA ayahnya hanya dibaca saja tetapi tidak ada yang dibalas.
Begitu juga proposal kepada pihak Pemerintah Daerah Kabupaten, Provinsi dan Pusat, semuanya nihil. Sudah beberapa kali ayahnya Galaxia menanyakannya, tetapi jawaban mereka mengambang saja dan sama sekali tidak ada kepastian.
Sepertinya mereka mengelak untuk berterus terang bahwa mereka tidak bisa membantu atau mungkin kasarnya memang tidak mau membantu.
“Yah,” sapa Galaxia pada suatu pagi pada ayahnya yang sedang membersihkan komputer Desktopnya.
Setiap bulan ayahnya pasti membersihkan debu-debu yang menempel di casing dan monitornya dan juga meja kerjanya yang terbuat dari kayu mengkirai itu.
“Ngapa, Nak?”
“Ada informasi dari kawanku...,” desis Galaxia, tetapi dia tidak meneruskan kata-katanya. Karena dilihatnya ayahnya masih konsentrasi dengan pekerjaannya membersihkan PC Desktopnya.
“Ya? Informasi apa, Nak?” tanya ayahnya sambil menghentikan kegiatannya dan menatap Galaxia heran ketika mendengar anaknya itu terdiam dan tidak melanjutkan kata-katanya.
“Katanya Bupati Sintang itu murah hati, Yah. Dia banyak membantu orang.”
“Oh ya? Maksudmu, ada rencana minta bantuan ke sana?”
“Kalau kita minta bantuan dia, bagaimana menurut Ayah?”
Ayahnya agak lama terdiam. “Sebenarnya sih agak lucu, Nak. Massa sih kita lalu meminta bantuan ke bupati kabupaten lain?” desis ayahnya sambil menggelengkan kepala.
“Tapi kalau aku coba, bagaimana Yah?” cecar Galaxia tidak puas dengan jawaban ayahnya.
“Tapi memang agak mustahil sih bagi Papa, Nak. Diakan bupati kabupaten lain, sedangkan bupati kabupaten kita saja tidak peduli.”
“Tapi banyak cerita jika dia suka menolong orang lain, Pa. Bahkan ada anak-anak PikR dan GenRe dari ibu kota provinsi yang kebetulan bertandang ke kabupatennya, kata mereka dia beri uang jalan dan uang saku.”
“Yah, terserah kamulah jika memang persoalannya seperti itu. Tapi jangan kecewa saja jika tidak dipenuhi. Tapi bagaimana caramu menghubunginya? Apakah kamu punya nomor WA-nya?”
“Tak ada, Yah.”
“Lalu?”
“Kata kawan-kawanku di kelompok WA PikR dan GenRe Provinsi, cari saja akun Instagramnya, DM dia dan mereka bilang selama ini pasti selalu dibalasnya.”
“Wah sangat luar biasa itu, baru Ayah dengar ada Bupati yang seperti itu. Karena dia adalah orang yang super sibuk, tetapi masih punya waktu dan juga poin yang terpentingnya dia mau membalas pesan orang di media sosial,” tukas ayahnya cukup panjang lebar. “Ya, silakan sajalah kalau begitu! Siapa Namanya tadi, ya? Ayah lupa.”
“Pak Jarot Winarno.”
“Oh ya, pak Jarot. Memang orangnya baik.”