Keadaan mereka sungguh sangat mengkhawatirkan oleh Pandemi virus Covid-19 ini. Memang mereka masih tetap bisa makan, tetapi sangat pas-pasan karena semuanya terbatas. Sehingga akhirnya ayahnya Galaxia terpikir untuk meminta tolong desa untuk mengatasi keadaan itu.
“Saya mau menghadap ke kantor desa,” ujar ayahnya Galaxia ketika mereka sedang berkumpul sehabis makan.
“Untuk apa?” tanya Mamanya Galaxia.
“Meminta pertolongan mereka, karena sekarang sepertinya hanya ke Desa lah bisa meminta pertolongan.”
“Kamu yakin?” tanya Mama Galaxia lagi. “Selama ini mereka saja tidak pernah peduli dengan kita, kok.”
“Kita cobalah dulu. Dia toh kepala Desa yang baru, salah satu pendukungnya kan adalah kita.”
“Saya sih terus terang saja sangat pesimis, Pa. Jika mereka mau menolong kita, sudah sejak lama kita mendapatkan bantuan. Mereka kan tahu jika Papa tidak ada pekerjaan dan penghasilannya pun kurang,” desah Galaxia setengah kesal.
“Kita coba lah dulu, Mam. Jangan langsung pesimis semuanya,” tutur ayah sedih, karena istrinya ini sangat kurang percaya dengan orang Desa.
Walau pun dia dalam hatinya diam-diam curiga juga dengan kepala Desa itu, karena semua karyawan di desa itu sepertinya pihak keluarganya Kepala Desa itu semua. Jadi dia berpikir kembali, sepertinya ini kurang adil.
“Kamu mau ikut?” tawarnya sambil memandang Galaxia yang memperhatikan komunikasi di antara mereka berdua.
“Untuk apa, ayah?” tanya pak Rahmat ayahnya Galaxia.
“Biar kamu mendapatkan pengalaman,” jawab ayahnya.
“Baiklah,” jawab Galaxia singkat. “Kapan, berangkatnya?”
“Besok.”
“Siap, ayah.”
Besoknya pak Rahmat dan Galaxia menghadap ke kantor Desa, karena keadaan memaksa mereka meminta tolong. Dari rumah mereka kantor Desa itu hanya berjarak kurang lebih lima kilometer, sehingga biasanya hanya belasan menitlah sudah sampai ke sana.
Pergi sengaja datang ke sana jam sembilan pagi, dengan pertimbangan para pegawainya sudah datang.
“Pagi Bu,” sapa pak Rahmat ayahnya Galaxia ketika bertemu Ibu karyawan kantor Desa itu.
Dia ini setahu Rahmat adalah keluarga dekat kepala Desa, sehingga dia beserta pegawai yang lainnya rata-rata mempunyai hubungan keluarga dengan kepala Desa. Hanya Sekretaris desa saja yang hubungannya agak jauh, karena Sekdes itu harus pegawai negeri.
“Pagi … Dari mana ya?” tanya ibu itu penuh selidik.
“Orang desa sini lah, Bu. Mau menghadap,” ujar Rahmat.
“Oh, ya. Mau menghadap siapa?” tanya Ibu itu lagi.
“Pak Kadesnya ada, Bu?” tanya pak Rahmat lagi.
“Sebentar ya, saya lihat dulu apa sudah datang,” jawab Ibu tadi sambil berjalan ke sebuah ruangan kerja yang di atasnya tertulis ‘Ruangan Kades’.