Dalam redupnya cahaya pagi, Ayah Galaxia melangkah ragu-ragu menuju kantor pegadaian yang terletak tak jauh dari kediamannya. Langkahnya terasa berat, seperti beban besar yang harus ia pikul. Di genggaman tangannya, cincin kawin yang telah menghiasi hidupnya selama bertahun-tahun berkilauan dalam sinar matahari pagi.
Tiba di kantor pegadaian, Ayah Galaxia merasa jantungnya berdebar kencang. Ia menghela nafas dalam-dalam dan melangkah ke dalam. Ruangan itu penuh dengan berbagai benda berharga yang diletakkan dengan rapi di meja-meja. Ia merasa seakan-akan berada di tempat yang asing, meskipun sebenarnya ia pernah berkunjung ke sini beberapa kali sebelumnya.
Seorang pegawai pegadaian, seorang wanita muda dengan senyuman ramah, mendekatinya. "Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
Dengan suara yang gemetar, Ayah Galaxia menjawab, "Ya, saya ingin menggadaikan cincin ini." Ia melepaskan cincin kawin dari jarinya dan menyerahkan kepada pegawai itu.
Pegawai itu mengambil cincin dengan hati-hati, matanya melirik sejenak ke cincin sebelum menempatkannya di atas meja. "Tentu, Pak. Kami akan menilai cincin ini dan memberi tahu Anda nilai gadai yang bisa kami tawarkan."
Ayah Galaxia hanya bisa menelan ludah. Hati dan pikirannya berkecamuk. Cincin kawin itu bukan hanya simbol pernikahannya, tetapi juga kenangan akan cinta dan komitmen yang pernah ia rasakan. Namun, keadaan telah memaksanya untuk melepaskan benda berharga ini demi memenuhi kebutuhan mendesak.
Sementara pegawai itu sibuk menilai cincin, pandangannya melintas ke sekeliling ruangan. Ia melihat sejumlah orang yang tengah bertransaksi di sana, dan ia tak bisa tidak memperhatikan keberagaman mereka. Orang-orang dengan wajah yang berasal dari berbagai ras dan budaya. Tionghoa, Jawa, Melayu, Madura, Dayak, Bugis, Batak, dan banyak lagi. Semua berkumpul di tempat ini dengan tujuan yang sama: mencari bantuan finansial dalam situasi sulit.
Ketika pegawai itu mengumumkan nilai gadai untuk cincin kawin Ayah Galaxia, hatinya bergetar. Nilainya jauh lebih rendah daripada apa yang ia harapkan. Namun, ia tahu ia tidak punya pilihan lain. Ia mengangguk dengan terpaksa, "Baiklah, saya terima."
"Terima kasih, Pak. Kami akan mengurus proses penggadaian ini dengan cepat," ujar pegawai itu sambil mengisi formulir di depannya.
Dalam keheningan ruangan, Ayah Galaxia merasakan dirinya hampir luluh. Ia merasa ia telah melepaskan sebagian dari dirinya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sementara proses administrasi berlangsung, ia tak bisa tidak memandangi orang-orang di sekitarnya. Orang-orang dengan latar belakang yang beragam, tetapi dalam keadaan yang sama-sama sulit.
Tak lama kemudian, semua proses selesai. Ayah Galaxia menerima uang gadai dengan hati yang berat. Ia melangkah keluar dari kantor pegadaian dengan langkah yang lebih berat lagi. Cahaya matahari pagi terasa terlalu terang baginya, mengingatkannya pada kenyataan yang tak bisa lagi ia hindari.
Orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat berada di sana, berbagi beban yang sama. Ayah Galaxia merasakan kebersamaan dalam perjuangan, meskipun ia berharap tidak ada satu pun dari mereka yang harus merasakan sakit yang ia rasakan saat ini.
***
Dalam senja yang merona, di ruang keluarga yang hangat, Ayah Galaxia dan Mamanya duduk di antara ketegangan yang terasa mencekam. Anak-anak mereka, Galaxia dan Jokan, tampak cemas, mencoba mengartikan ekspresi di wajah orang tua mereka.
"Mama, Papa, apa yang terjadi?" tanya Galaxia dengan suara lembut, namun penuh kekhawatiran.