Gadis bernama Galaxia itu, teringat akan pesan ayahnya untuk menyenangi matematika. Minimal untuk bisa lulus tes, karena setelah masuk kuliah nanti maka tidak ada pelajaran matematika.
"Sayang, kamu harus mencintai matematika. Itu adalah kunci untuk membuka banyak pintu dalam hidupmu."
Padahal anehnya Galaxia paling tidak dengan matematika, hal yang pertama adalah karena gurunya sangat anti perempuan ketika SMA. Hanya menyenangi kaum laki-laki saja, padahal Galaxia kepikiran bagaimana gurunya itu ada di dunia fana ini kalau tidak ada perempuan.
Namun akhirnya Galaxia terpaksa mengikuti petuah kedua orang tuanya itu dengan setia, karena dirinya ingin lulus. Setiap pagi, sebelum matahari terbit, dia sudah duduk di meja belajarnya, menatap angka-angka dan rumus matematika dengan penuh konsentrasi.
Dia merasa bangga bisa melihat senyuman bahagia di wajah kedua orang tuanya saat melihat usahanya yang tak kenal lelah.
"Galaxia, sayang. Kami sungguh berbangga memiliki anak sepertimu," ucap Ayahnya dengan suara lembut sambil mengelus kepala Galaxia.
Ibunya juga tersenyum dan mengangguk setuju. "Betul, Nak. Matematika bukan hanya tentang angka, tapi juga tentang logika dan ketekunan. Itu adalah bekal berharga dalam hidup."
Galaxia mengangguk dan tersenyum dengan rasa bangga. Setiap usaha yang dia lakukan adalah untuk membuat kedua orang tuanya bangga padanya. Karena matematika itu hanya persyaratan tes masuk perguruan tinggi yang akan menilai pemahaman tentang matematika, dan itu hanya untuk kepentingan lolos tes.
Galaxia terduduk di depan radio sambil mendengarkan pengumuman tersebut. Hatinya seperti terhempas ke dasar jurang. Semua usaha kerasnya selama ini, semua mimpi yang dia bangun, rasanya hancur seketika. Dia merasa seperti ditinggalkan di tengah jalan.
Malam itu, dia duduk di kamarnya, menatap langit gelap dari jendela. Air matanya mengalir deras seperti hujan di musim penghujan. Kedua orang tuanya masuk ke kamarnya dan melihatnya menangis. Mereka duduk di sampingnya, merangkulnya dengan penuh kasih sayang.
"Apa yang salah, Nak?" tanya Ibunya sambil mengusap lembut punggung Galaxia.
Galaxia mencoba menghentikan tangisannya, tapi suara tersedu-sedu masih terdengar. Dia menceritakan tentang pengumuman itu, tentang bagaimana matematika tak lagi memiliki arti khusus selain untuk tes masuk.
Ayahnya dan Ibunya saling pandang, lalu Ayahnya mengelus rambut Galaxia. "Sayangku, matematika bukan hanya tentang pelajaran di sekolah. Itu adalah alat untuk berpikir analitis, untuk merancang dan menguraikan masalah dalam hidup. Kamu masih bisa memanfaatkan kemampuan matematikamu di berbagai bidang."
Ibunya menambahkan, "Ingatlah, kami tetap bangga padamu, Galaxia. Apapun yang kamu pilih untuk masa depanmu, kami akan selalu mendukungmu."
Malam itu, Galaxia tidur dengan hati yang agak lebih ringan. Meskipun rasa frustrasinya belum hilang sepenuhnya, dia merasa lebih tenang karena mendapatkan dukungan penuh dari orang tuanya.
Hari-hari berlalu dan Galaxia mulai membuka buku-buku tentang berbagai bidang yang memanfaatkan pemahaman matematika. Dia menemukan bahwa ilmu pengetahuan, teknologi, seni digital, dan banyak lagi bidang lainnya masih sangat bergantung pada konsep matematika. Semakin dalam dia meneliti, semakin yakin bahwa petuah kedua orang tuanya masih berlaku.
Walaupun dulu dia sangat tidak suka matematika, tetapi karena itu merupakan salah satu tes masuk perguruan tinggi maka Galaxia tetap mempertahankan minatnya. Dia mulai memecahkan teka-teki matematika yang rumit di waktu luangnya, kadang-kadang bahkan membaca buku matematika dalam bahasa Inggris untuk mempertajam kemampuannya.
Ketika tiba saatnya untuk menghadapi tes masuk perguruan tinggi, Galaxia merasa percaya diri. Dia tahu bahwa pemahamannya tentang matematika yang mendalam akan memberinya keunggulan.