Orang Orang Di Atas Angin

Yovinus
Chapter #53

53. Membantu Anak-Anak Palang

 

Galaxia berdiri di tepi landasan, angin malam yang dingin menyapu rambut panjangnya. Pesawat yang akan membawanya ke Palang baru saja mendarat. Ini adalah kali ketiga dia bergabung sebagai tim relawan, namun ketegangan yang dirasakannya seakan sama seperti pertama kali.

"Hati-hati di sana, Galaxia," kata Amelia, sahabatnya yang mengantar ke bandara. "Aku selalu khawatir setiap kali kamu pergi."

Galaxia tersenyum, mencoba menyembunyikan kerisauan di balik matanya. "Aku akan baik-baik saja, Amelia. Aku harus pergi. Mereka membutuhkan kita."

"Ya, aku tahu. Tapi tetap saja, hati-hati. Kirim kabar sesering mungkin."

Galaxia memeluk Amelia erat-erat sebelum melangkah menuju pesawat. Dia menatap langit malam, berdoa agar diberi kekuatan untuk menghadapi segala kemungkinan.

Hari pertama di kamp pengungsi, Galaxia dan timnya langsung sibuk dengan berbagai tugas. Mereka membagikan makanan, mendirikan tenda, dan merawat korban luka.

Setiap kali dia melihat senyum di wajah anak-anak, hatinya terasa hangat meski tahu bahwa senyum itu mungkin hanya sementara.

Di tengah hiruk-pikuk kegiatan, terdengar suara ledakan yang sangat keras. Galaxia terjatuh dan merasakan tanah bergetar hebat. Beberapa detik kemudian, jeritan dan tangisan memenuhi udara.

"Semua aman?" teriak Alex, rekan relawan yang paling dekat dengannya.

Galaxia mengangguk sambil merangkak berdiri. "Ya, aku baik-baik saja. Bagaimana dengan yang lain?"

"Kita harus segera ke rumah sakit darurat. Banyak korban baru yang datang," jawab Alex, wajahnya penuh kekhawatiran.

Mereka bergegas ke rumah sakit yang sesungguhnya tak lebih dari tenda besar. Di sana, mereka disambut pemandangan yang menyayat hati: anak-anak dengan tubuh penuh luka, orang tua yang kehilangan anggota keluarga, dan para tenaga medis yang kelelahan.

Di sudut tenda, Galaxia melihat seorang anak perempuan berusia sekitar delapan tahun yang duduk sendiri, menangis tanpa suara. Dia mendekat dan duduk di sebelahnya.

"Hai, namaku Galaxia. Siapa namamu?"

Anak itu memandangnya dengan mata besar yang penuh ketakutan. "Zara," jawabnya pelan.

"Zara, kamu baik-baik saja? Apakah kamu terluka?"

Zara menggeleng. "Tidak. Tapi ibuku... Dia masih di rumah saat bom meledak."

Galaxia merasakan hatinya tersayat. Dia memeluk Zara, mencoba memberikan sedikit kenyamanan di tengah kekacauan ini.

Malam itu, setelah semua pasien tertangani, Galaxia duduk bersama timnya di luar tenda. Mereka lelah, baik fisik maupun mental.

"Kita harus melakukan lebih banyak," kata Galaxia. "Anak-anak ini... mereka butuh lebih dari sekadar bantuan medis. Mereka butuh harapan."

"Bagaimana kita bisa memberi harapan saat keadaan seperti ini?" tanya Alex, suaranya penuh keputusasaan.

Galaxia menatap langit malam yang gelap. "Dengan cinta, dengan perhatian. Kita mungkin tidak bisa menghentikan bom, tapi kita bisa memberikan sedikit kehangatan di hati mereka."

Hari demi hari berlalu, serangan demi serangan terus datang. Namun, di setiap harinya, Galaxia menemukan kekuatan baru dalam dirinya. Dia menjadi lebih dekat dengan Zara, membantu anak itu pulih dari trauma yang dialaminya.

Suatu hari, saat mereka sedang berbincang, Zara bertanya, "Galaxia, apakah kamu pernah takut?"

Lihat selengkapnya