Galaxia duduk di depan komputernya, menatap layar dengan serius. Kini dia sudah bertahun-tahun bekerja sebagai dosen di salah satu universitas ternama di daerahnya.
Dia kuliah di Perancis dalam menyelesaikan studi S3-nya dan setelah itu menjadi relawan PBB urusan pemuda. Meski telah meraih gelar doktor di negeri yang terkenal dengan romantisme dan seni itu, hatinya tetap terpaut pada tanah air.
"Galaxia, kamu sibuk?" tanya seorang pria yang tiba-tiba muncul di depan pintu kantornya.
Galaxia menoleh dan tersenyum. "Ah, tidak terlalu, Porehkui . Ada apa?"
Porehkui adalah rekan sesama dosen di universitas tersebut. Dengan tinggi sekitar 180 cm dan pembawaan yang tenang, dia adalah seorang pemuda Uut Danum yang bijaksana dan penuh perhatian. Mereka sering bertukar pikiran tentang materi kuliah dan penelitian.
"Aku hanya ingin mengajakmu makan siang. Ada restoran baru di dekat sini, katanya makanannya enak," ajak Porehkui sambil tersenyum.
"Baiklah, aku butuh sedikit penyegaran," jawab Galaxia sambil berdiri dan merapikan mejanya.
Mereka berjalan berdua menuju restoran. Porehkui selalu memiliki cara untuk membuat percakapan menjadi menarik. Hari itu, mereka berbicara tentang banyak hal, dari pengalaman Galaxia di Perancis hingga kebudayaan Uut Danum yang kaya dan penuh warna.
"Jadi, kamu tidak tertarik dengan pemuda luar negeri selama di Perancis?" tanya Porehkui sambil menyantap makanannya.
Galaxia tertawa kecil. "Tidak, Porehkui. Jujur saja, aku merasa lebih nyaman dengan orang yang memiliki latar belakang budaya yang sama."
Porehkui tersenyum, merasa ada sesuatu yang hangat dalam pernyataan Galaxia itu. Secara tidak langsung menyatakan kesukaannya pada dirinya. "Aku juga merasa begitu. Ada sesuatu yang istimewa ketika kita bisa berbagi cerita dan pengalaman dari tempat yang sama."
Seiring berjalannya waktu, persahabatan mereka semakin erat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, baik di kampus maupun di luar kampus. Setiap percakapan, setiap tawa, setiap momen yang mereka habiskan bersama semakin memperkuat ikatan di antara mereka.
Suatu malam, setelah selesai mengajar, mereka duduk di taman kampus. Langit malam itu cerah, dengan bintang-bintang bersinar terang.
"Galaxia, apakah kamu pernah berpikir tentang masa depan?" tanya Porehkui dengan suara lembut.
"Sering kali, Porehkui. Aku ingin melakukan banyak hal untuk masyarakatku, untuk tanah airku. Bagaimana denganmu?"
"Aku juga. Dan aku berpikir, apakah mungkin masa depan itu bisa kita jalani bersama?" Porehkui memandang Galaxia dengan tatapan penuh harap.
Galaxia terdiam sejenak, merasakan degup jantungnya semakin cepat. "Porehkui , aku... aku juga merasakan hal yang sama. Aku merasa kita bisa saling melengkapi, saling mendukung."