Liburan yang seharusnya menjadi momen santai dan penuh kehangatan berubah menjadi diskusi serius ketika keluarga Galaxia dari kampung datang berkunjung. Galaxia dan suaminya, Porehkui, baru saja merencanakan petualangan mereka di suatu resort eksotis ketika suara telepon memecah keheningan pagi mereka.
Resort itu sangat terkenal, sehingga membuat mereka sangat tertarik untuk memperoleh suasana yang lain setelah sibuk di kampus. Tetapi karena kedatangan keluarga mereka dari kampung, mereka terpaksalah mengalah dengan bercengkerama dengan keluarga mereka.
"Ayah, ibu, sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," kata Galaxia membuka percakapan saat mereka semua duduk di ruang tamu. Keluarganya datang dengan kabar yang tak terduga dan menyesakkan hati.
"Kamu tahu, masyarakat di kampung kita banyak yang ditangkap aparat negara," ujar Ayah Galaxia dengan wajah muram. "Mereka dituduh membakar ladang, melakukan penambangan emas ilegal, dan membuat balok kayu belian."
Porehkui mengernyitkan dahi, seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Bukankah itu kegiatan yang sudah dilakukan sejak dahulu? Apa yang berubah sekarang?"
Ayahnya menghela napas panjang. "Ya, benar. Masyarakat kita berladang sudah dari sebelum Indonesia merdeka. Itu memang menjadi pokok mata pencaharian mereka. Tapi, sekarang ini sepertinya ada yang berbeda."
Galaxia merasakan keprihatinan yang mendalam. Ia tahu betul bagaimana kehidupan di kampungnya. Mereka bukan orang-orang yang ingin merusak alam, tapi mereka juga harus bertahan hidup.
"Tapi dulunya, tidak pernah ada bencana kabut asap yang melebar sampai ke negeri jiran. Lalu mengapa sekarang, sejak maraknya perkebunan sawit, banyak terjadi kabut asap? Bahkan bisa terjadi selama berbulan-bulan …"
Ibunya menimpali, "Itulah yang membuat kami bingung. Seberapalah kemampuan orang kampung berladang? Rasanya tidak mungkin mereka mampu menciptakan asap yang banyak karena luasnya lahan terbatas."
Galaxia berpikir keras. "Mungkin kita harus mencari cara agar masyarakat bisa bersawah, yang tidak memerlukan pembakaran ketika membuka lahan."
Porehkui mengangguk setuju. "Tapi bagaimana caranya? Masyarakat tidak pernah mendapatkan ilmu itu, dan para kepala desa lebih sering menceritakan tentang turis mancanegara yang berjemur di pantai dengan kekurangan kain."
Galaxia melihat suaminya dengan mata yang penuh tekad. "Bagaimana kalau kita buat sawah percontohan gratis? Kita ajarkan mereka bagaimana cara bertani dengan bersawah."
Porehkui tersenyum. "Ide yang bagus. Tapi kita harus benar-benar menyiapkan semuanya dengan baik. Kita butuh dukungan dari berbagai pihak."
Beberapa bulan kemudian, di sebuah lahan yang cukup luas di kampung Galaxia, terlihat kesibukan yang luar biasa. Galaxia dan Porehkui bersama beberapa ahli pertanian dan masyarakat setempat mulai membuka lahan untuk sawah percontohan.