Galaxia dan suaminya, Porehkui, sedang berkendara pulang dari kampus menuju rumah mereka. Hari sudah mulai malam, dan entah mengapa keduanya ingin sekali ke tempat tamasya untuk melepas penat.
Kebetulan ini adalah malam minggu, sehingga keduanya ingin bersantai. Galaxia yang sedang hamil enam bulan tampak sangat bersemangat. Setelah bertahun-tahun menikah, akhirnya mereka diberkati dengan kehamilan ini.
Porehkui yang duduk di belakang kemudi sesekali melirik ke arah istrinya dengan senyum bahagia.
"Sayang, bagaimana kalau kita mampir dulu ke taman dekat sini? Sudah lama kita tidak bersantai di luar," kata Porehkui sambil terus mengemudi.
Galaxia mengangguk dengan semangat. "Tentu saja, Suamiku. Aku juga ingin menghirup udara segar. Lagipula, ini malam minggu. Kita harus menikmati momen ini."
Mereka pun memutuskan untuk mengubah rute dan menuju ke taman wisata yang tidak jauh dari jalan utama. Setelah sampai di tempat tujuan, Porehkui dengan hati-hati membimbing Galaxia keluar dari mobil dan berjalan menuju tempat duduk yang ada di taman tersebut.
Namun, mereka mendapati bahwa bangku tersebut sudah diduduki oleh seorang nenek tua.
"Permisi, Nek," sapa Galaxia dengan senyum ramah. "Sudah lama di sini?"
Nenek tua itu menoleh dan membalas senyuman Galaxia. "Sudah dari siang tadi," jawabnya dengan suara lemah yang tampaknya menahan lapar.
Galaxia merasa iba melihat kondisi nenek itu. "Maaf, apakah nenek dari tadi sudah makan?" tanyanya dengan nada khawatir.
Nenek itu menggelengkan kepalanya. "Belum, anakku tadi bilang hanya pergi sebentar, tapi sampai sekarang belum kembali."
Dalam hati, Galaxia merasa curiga. "Suamiku, apakah kita masih punya makanan di mobil? Kasihan nenek ini, dia kelaparan," bisiknya pada suaminya.
Porehkui mengangguk dan segera kembali ke mobil untuk mengambil beberapa makanan ringan yang mereka bawa. Sementara itu, Galaxia duduk di sebelah nenek itu dan mengajaknya berbicara.
"Namaku Galaxia, Nek. Ini suamiku, Porehkui. Kami sedang jalan-jalan untuk menghilangkan penat. Nenek sendiri sedang menunggu siapa?"
Nenek itu tersenyum lemah. "Namaku Nenek Siti. Aku sedang menunggu anakku yang tadi bilang mau pergi sebentar. Sudah hampir sore dan aku belum melihat batang hidungnya."
Porehkui kembali dengan makanan dan minuman. "Ini, Nek. Silakan dimakan dulu. Kami kebetulan membawa sedikit bekal."
Nenek Siti menerima dengan tangan gemetar. "Terima kasih, anak-anak. Kalian baik sekali. Semoga selalu diberkati."
Sambil nenek itu makan, Galaxia dan Porehkui terus berbincang dengannya. "Nenek sering datang ke sini?" tanya Porehkui mencoba mencairkan suasana.
"Kadang-kadang," jawab Nenek Siti setelah meneguk air. "Tapi biasanya tidak sendiri. Anakku selalu menemaniku. Entah kenapa hari ini dia lama sekali."
Galaxia dan Porehkui saling bertukar pandang. Mereka merasa ada yang tidak beres. "Mungkin ada sesuatu yang menghalangi anak nenek. Apakah ada cara untuk menghubunginya?" tanya Galaxia penuh perhatian.
Nenek Siti menggelengkan kepala. "Tidak, dia tidak membawa telepon. Dia bilang hanya pergi sebentar."
Suasana mulai hening sejenak. Malam semakin larut dan taman mulai sepi. Galaxia merasa ada yang harus dilakukan. "Porehkui, bagaimana kalau kita antar nenek pulang? Kita tidak bisa meninggalkannya di sini sendirian."
Porehkui mengangguk setuju. "Nenek Siti, bagaimana kalau kami antar pulang? Ini sudah malam dan sepertinya anak nenek belum kembali."
Nenek Siti tampak ragu sejenak, tetapi kemudian mengangguk. "Baiklah, kalau kalian tidak keberatan."
Porehkui dan Galaxia membantu Nenek Siti berdiri dan berjalan menuju mobil. Mereka memastikan nenek itu duduk dengan nyaman di kursi belakang. "Nenek tinggal di mana?" tanya Porehkui.
Beberapa kali nenek Siti menyebutkan alamat, tetapi selalu salah. Rupanya dia mengidap penyakit alzaimer.
Dengan pengetahuan yang dia miliki, Porehkui bisa menebak alamat yang benar. Kemudian Porehkui segera mengemudi ke arah yang dimaksud. Di sepanjang perjalanan, mereka terus berbincang, mencoba membuat Nenek Siti merasa nyaman.