Pagi-pagi sekali Galaxia menghela napas panjang saat dia berdiri di depan cermin kamarnya. Pagi itu masih gelap, hanya ada semburat cahaya matahari yang perlahan-lahan mulai merayap di ufuk timur.
Dengan langkah ragu-ragu, dia membuka pintu kamarnya dan mengintip ke luar jendela. Terlihat di belakang rumah tetangganya, ada pohon pisang yang menjulang tinggi, daunnya bergerak pelan tertiup angin pagi.
"Kenapa juga aku harus mencuri pisang?" gumamnya pelan, menyandarkan kepala di tembok. "Kalau aku minta baik-baik kan bisa saja."
Namun, entah kenapa, perasaan yang menggelitik di hatinya membuat Galaxia memutuskan bahwa pisang itu harus dicuri, bukan diminta. Rasa ingin tahu dan sedikit kegilaan membuatnya bertindak nekat.
Itu pun hanya buahnya dua buah saja. Tidak lebih. Tapi mengapa? Apakah karena aku hamil muda, ya? Gumamnya dalam hati.
Dia berjalan pelan ke dapur, memastikan tidak ada yang mendengar langkah kakinya. Saat tiba di pintu belakang, dia berhenti sejenak, memejamkan mata, dan menarik napas dalam-dalam.
"Tidak boleh ada yang tahu. Terutama tetangga itu," bisiknya lagi, kali ini lebih kepada dirinya sendiri.
Porehkui, suaminya, yang baru bangun, tiba-tiba muncul di dapur, menggosok-gosok mata yang masih mengantuk. "Galaxia, kamu ngapain pagi-pagi buta begini?"
Galaxia terlonjak kaget. "Hus, jangan berisik! Aku... aku mau mencuri pisang di belakang rumah tetangga."
Porehkui mengernyitkan dahi. "Apa? Pisang? Pagi-pagi begini? Apa kamu sudah gila? Tetangga kita itu ustad, tahu. Kalau ketahuan, bisa malu satu kampung."
"Justru itu serunya. Jangan banyak protes, bantuin aku saja," jawab Galaxia, mencoba menenangkan diri.
Astagaaaa, tentu saja Porehkui jadi serba salah. Tapi karena istrinya hamil, apa mungkin dia ngidam ya?
Porehkui menghela napas panjang, merasa tak ada pilihan lain. "Baiklah, tapi ini terakhir kali aku bantu kegilaanmu, ya."
Mereka berdua keluar dari rumah dengan langkah hati-hati. Sepanjang jalan setapak menuju kebun tetangga, mereka berdua terus waspada.
Tiba-tiba, terdengar suara dari dalam rumah tetangga. Galaxia dan Porehkui segera bersembunyi di balik semak-semak, menahan napas.
"Ini pasti ide terbodoh yang pernah kita lakukan," bisik Porehkui dengan suara nyaris tak terdengar.
Galaxia hanya tersenyum kecut, mencoba melihat ke arah pohon pisang yang tak jauh lagi dari tempat mereka bersembunyi. "Sedikit lagi. Kita harus cepat."
Akhirnya, mereka tiba di bawah pohon pisang. Porehkui mulai memanjat dengan cekatan, sementara Gakaxia berjaga-jaga di bawah. Tiba-tiba, dari dalam rumah terdengar suara batuk-batuk. Porehkui berhenti sejenak, mendengarkan dengan seksama.
"Astaga, itu suara Pak Ustad," bisik Galaxia panik. "Cepat, Suamiku, sebelum dia keluar!"
Porehkui meraih dua buah pisang yang masih mentah dan bergegas turun. Namun, saat kakinya menyentuh tanah, sebuah suara dari belakang membuat jantung mereka hampir berhenti.
"Sedang apa kalian di sini?"
Terdengar sebuiah teguran dalam bahasa Indonesia yang agak belo, karena dia besar di Indonesia, tetapi lahir di Yaman.
Galaxia dan Porehkui berbalik, dan di hadapan mereka berdiri Pak Ustad dengan tatapan tajam. Di sampingnya, ada istrinya yang terlihat bingung.
"Pak Ustad... Kami... Kami hanya...," Galaxia tergagap, mencari kata-kata yang tepat.
"Sedang mencuri pisang, ya?" Pak Ustad menghela napas panjang, tetapi ada senyum tipis di bibirnya. "Kenapa tidak minta saja baik-baik?"
Galaxia merasa wajahnya panas, antara malu dan takut. "Maaf, Pak Ustad. Saya pikir... ini lebih seru."
Pak Ustad tertawa kecil, sementara istrinya ikut tersenyum. "Kalian ini benar-benar. Kalau mau pisang, bilang saja. Tidak perlu repot-repot mencuri seperti ini."
“Tetapi istriku ingin aku mencurinya, hanya dua buah saja,” ujar Porehkui.