Hari itu, langit Pulau Kemantan tampak cerah. Burung-burung berkicau riang, seolah menyambut hari baru yang penuh harapan. Namun, bagi Porehkui, hari itu adalah awal dari sebuah perjalanan yang penuh tantangan.
Porehkui, seorang dosen linguistik di daerahnya, bekerja sama dengan negara Blossom, ingin meneliti tentang linguistik bahasa-bahasa di daerah tersebut.
Dengan semangat petualang dan hati yang lembut, mendapat tugas untuk menjelajahi Pulau Kemantan, termasuk daerah-daerah terpencil yang belum banyak dijamah manusia.
Dengan tas ransel yang penuh perbekalan dan semangat membara, dia memulai perjalanan yang tidak akan pernah dilupakannya.
Di tengah hutan lebat, dia melihat pemandangan yang membuat hatinya miris. Pohon-pohon besar ditebang, digantikan oleh tanaman industri satu macam tanaman untuk kertas dan perkebunan sawit.
"Apa yang terjadi dengan hutan ini?" pikir Porehkui sambil mengelus-elus janggutnya yang cukup panjang.
Saat itu, ia bertemu dengan seorang penebang hutan.
"Permisi, Pak. Apa yang sedang Anda lakukan?" tanya Porehkui dengan penasaran.
"Kami sedang membersihkan lahan ini untuk perkebunan sawit," jawab penebang itu sambil menyeka keringat di dahinya.
"Tapi, bukankah ini menghilangkan kekayaan hutan kita? Tumbuhan langka dan kayu keras semuanya akan lenyap!" seru Porehkui dengan nada cemas.
Penebang itu hanya mengangkat bahu. "Itulah perintah dari atas, kami hanya menjalankan tugas."
Porehkui melanjutkan perjalanannya dengan hati yang berat. Dia melihat lebih banyak hutan yang telah dibabat habis. Hanya tersisa tanah kosong dan sisa-sisa pohon yang tumbang. Porehkui duduk di atas sebatang pohon yang roboh dan menatap ke kejauhan.
"Sungguh menyedihkan. Hutan ini seperti menangis," gumamnya sambil mengusap air mata yang jatuh di pipinya.
Di tengah kesedihannya, tiba-tiba terdengar suara riuh. Porehkui segera bangkit dan menuju sumber suara. Di sana, dia menemukan sekumpulan monyet yang tampak gelisah.
"Apa yang terjadi di sini?" tanya Porehkui sambil mendekati kawanan monyet itu.
Salah satu monyet, seolah-olah seperti berbicara padanya, "Rumah kami hilang, manusia menebang pohon tempat kami tinggal. Kami tidak tahu harus ke mana lagi."