Orang-Orang Kotabuku

Donny Setiawan
Chapter #2

Bab 2

BAB DUA

SIANG ITU panas sekali. Sampai-sampai tubuh yang semula harum kini berbau sumpek diselimuti bulir-bulir peluh. Dari wajah, leher, punggung, ketiak, sampai bagian betis. Kalau bukan karena sinyal internet yang mati di kamar kontrakannya, tak mungkin Tom Kecil rela keluar siang bolong begini.

Tom Kecil sudah memberi kabar kepada temannya jika ia ingin mampir. Oh, dengan senang hati, balas temannya. Tom mengatakan sedang mengalami masalah dengan kondisi sinyal di kamar kontrakannya. Oh, kebetulan di rumahnya ada kawasan bersinyal yang stabil jadi tak perlu khawatir akan sinyal yang hilang-hilangan, balas temannya lagi. Setelah dirasa cukup jelas, Tom Kecil mengakhiri obrolan daringnya. Dalam hatinya berkata, senang rasanya pada akhirnya cita-citanya untuk menjadi penulis terkenal dapat terwujud karena bantuan temannya yang berhati mulia. Tom Kecil pun berkhayal pada suatu hari kelak, di hari dirinya hadir dari salah satu konferensi penerbitan bukunya, ia dengan pasti bakal menyebut bahwa karena temannya yang membuatnya sukses pada hari itu hingga menjadi penulis terkenal. Sehingga ucapannya itu dapat membuat wartawan yang bertanya merasa tersentuh dan seluruh orang yang hadir ramai-ramai memuji Tom Kecil. Matanya berlinang air mata ketika mengkhayalkan itu. Ah, ia sudah tidak sabar dengan kejadian nyata seperti itu.

Temannya sudah siap menyambut kedatangan Tom di depan pintu. Rumah itu berbata batu keabu-abuan. Bangunannya berbentuk persegi memiliki jendela delapan dan semuanya berjajar dengan jarak yang simetris serta berlantai tiga. Hampir semua bangunan rumah-rumah berbentuk persegi di sekeliling komplek perumahan itu. Setelah itu temannya membawa Tom Kecil menuju lorong rumahnya. Di setiap sudut ruangan berjajar rak-rak buku yang menempel pada tiap dinding, persis seperti rumah Induk Semangnya yang ia sewa kamarnya, namun bedanya disini buku-buku diatur sedemikian rapi. Warna-warnanya diperhatikan: merah dengan merah, kuning dengan kuning, biru dengan biru, bahkan peralihan gradasi warna cerah ke gelap memikat mata apabila ada yang masuk ke lorong ini.

Temannya memberitahu bahwa terdapat pula urutan sesuai abjad untuk memudahkan mencari tiap buku. Ayahnya yang menyusun itu sehingga apabila ada yang ingin mencari buku tidak perlu bertanya-tanya kepada orang-orang yang tinggal di rumah. "Dimana buku ini? Apa kau ingat dimana waktu itu aku menaruh buku ini?"

Tom Kecil tak bertanya siapa orang di rumah itu yang membaca semua buku-buku tersebut, sebab dengan jelas seluruh orang yang mengisi rumah itu pasti membacanya. Temannya membaca buku-buku itu, ibunya membaca buku-buku itu, ayahnya membaca buku itu, kakeknya membaca buku-buku itu, neneknya membaca buku-buku itu. Semua orang membaca buku-buku mereka di rumah-rumahnya di Kotabuku! Jadi tak perlu membuang waktu untuk berbasa-basi seperti itu.

Suatu ketika pernah Jim, nama temannya, lupa menaruh kembali buku yang habis ia baca. Wah, ayahnya, katanya, mondar-mandir di depan rak buku tempat salah satu buku yang hilang itu sambil mengucap sumpah serapah. Nafasnya tersengal-sengal seperti sehabis dikejar-kejar harimau. Lalu apa yang terjadi selanjutnya? tanya Tom kepada temannya. Jim dimaki habis-habisan dan diberi hukuman selama seminggu tidak boleh mengambil buku dari rak buku di rumahnya.

"Oh, kau tahu," kata Jim, "seminggu tanpa buku! Lebih baik mati kelaparan karena makanan daripada mati kehausan karena buku," Tom Kecil menyetujuinya.

Biasanya, hanya buku-buku klasik atau buku-buku penulis terkenal yang pantas dipasang di rak-rak buku di rumah. Tom Kecil tahu, bahkan orang-orang Kotabuku tahu, bahwa buku-buku yang baru diterbitkan itu–bukannya Tom Kecil mengatakan semua penulis, tapi hanya sebagian–ditulis oleh penulis-penulis yang sedikit pengetahuan mengenai kepenulisan. Hal itu justru diperkuat dengan yang diucapkan oleh nyonya induk semangnya, atau bahkan justru dari wanita itulah muncul pemikiran ini.

Di dalam kamar temannya, mereka habiskan seharian hanya berkutat dengan papan tombol mesin tik. Masing-masing mempunyai mesin tiknya, baik Tom Kecil maupun Jim, temannya yang berhati mulia itu. Keduanya menulis buku pertama mereka. Mesin tik saat itu adalah mesin tik yang mirip dengan sebuah laptop atau perangkat komputer. Memiliki sebuah layar namun bukan seperti layar laptop atau komputer yang mempunyai sinar biru. Warna layarnya agak kekuningan, itulah sebabnya kenapa Tom sering menyipitkan matanya jika layar itu berada di ruangan yang agak gelap juga karena layarnya yang hanya seukuran layar tablet.

Menjelang malam, mereka berdua harus berhenti mengetik. Ibu Jim memanggil di lantai dua dan sebuah pemikiran muncul di benak kedua anak itu bahwa istirahat yang benar-benar berkualitas bagi penulis adalah sarapan. Di meja makan telah berkumpul Tom Kecil, Jim di sebelahnya, dan Ayah Jim, Tuan Emil Morf, serta istrinya, Nyonya Alisia Morf, saling berhadapan. Sehari-hari hanya mereka bertiga yang tinggal di rumah berlantai tiga ini. Rumah yang sangat sederhana: lantai satu terdapat lorong yang tadi Tom Kecil lewati, ruang tamu, dapur sekaligus meja makan, dan kamar mandi tamu; lantai dua hanya berisi kamar kedua orang tua itu tinggal, yang hampir sebagian besar ruangan yang sering digunakan; kemudian lantai tiga terdapat kamar Jim beserta kamar mandi kecil di sudut. Jim anak satu-satunya di keluarga ini jadi tak heran jika ia memiliki seluruh ruangan yang cukup luas di rumah ini.

Sehabis makan malam selesai, Tom dan Jim kembali ke lantai tiga. Sebelum naik tangga, Tom Kecil meminta izin untuk ke kamar kecil di belakang dapur. Jim naik terlebih dahulu. Nyonya Morf masuk ke kamar baca di lantai dua, dan Tuan Morf sambil menghisap rokok kembali ke kamar kerjanya pula di lantai dua. Terdengar lagi bunyi papan tombol memenuhi seisi rumah. Namun hanya Nyonya Morf yang masuk ke kamar baca untuk membaca buku klasik yang sedari tadi ia bawa ke mana-mana itu; bahkan saat sarapan pun ia curi-curi waktu makan dan membaca.

Tom Kecil memang biasa menginap sampai pagi di rumah Jim. Kedua orang tua Jim sangat pendiam maka jangan heran jika tidak ada percakapan selama sarapan di meja makan. Ketika ia hendak melewati lorong untuk menyusul Jim ke kamarnya, seperti yang dirasa Tom Kecil sejak awal, ia seperti baru pertama kali masuk dan benar-benar memperhatikan dengan teliti rak-rak buku itu. Ia terpesona dengan buku-buku yang disusun sedemikian rupa itu. Merah dengan merah, kuning dengan kuning, dan biru dengan biru. Semua gradasi warna memanjakan matanya. Benar kata Jim, jika dari dekat ia bisa melihat abjad yang tersemat di tiap rak-rak itu. Tom Kecil menyusuri lorong itu sampai akhirnya membawanya ke rak yang berawalan huruf I. Tak membutuhkan waktu yang lama, ia menemukan buku yang diberi label penulis bernama I.J.J. Penulis paling terkenal di Kotabuku. Siapa yang tak mengenal I.J.J.? Bahkan ayah Jim yang terlihat misterius dan kuno itu menyimpan buku-bukunya di rak buku rumahnya.

Ada sedikit rasa sakit di hati Tom Kecil mengetahui kebenaran bahwa hanya penulis-penulis terkenal yang dapat bukunya dipajang begini. Tak suka hati Tom Kecil sekaligus ada rasa penasaran, muncul niat untuk menelisik buku yang ditulis penulis terkenal itu diam-diam. Karena Tom Kecil berniat untuk bermalam di rumah temannya ini, maka ia masih punya waktu sampai tengah malam untuk menelisik buku tersebut namun tanpa sepengetahuan Jim. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil buku itu, sebelum ia memasukkannya ke dalam tasnya, ia memperhatikan sampul depan buku itu. Menilik bagian judul kemudian turun ke nama penulisnya: I.J.J. dalam kurung. Bahkan namanya dilumuri warna keemasan yang mengkilap.

Di lantai tiga, dengan meja seadanya, sebelum Jim dan Tom benar-benar sepenuhnya menyelesaikan 10.000 kata pertama mereka, Tom sempat mengutarakan harapannya untuk dapat menulis buku yang dapat dibaca seluruh Kotabuku, atau yang isinya bagus sebagus karya-karya klasik. Tom kemudian teringat kejadian siang tadi bersama Nyonya Induk Semangnya berbicara tentang struktur kepenulisan. Dan, rupanya Tom Kecil sadar bahwa ucapan wanita itu ada benarnya. Kemudian Tom Kecil menyertakan bukti bahwa buku-buku klasik yang biasa ia baca hampir sama bentuk dan strukturnya. Tom Kecil hanya ingin menyadarkan temannya yang berhati mulia itu saja.

"Tapi, percuma jika kita menulis narasi yang bagus, bahkan sesuai seperti apa katamu tadi? Struktur kepenulisan, ya? Tidak cukup untuk menutupi pasok terbitnya buku-buku baru, yang seperti kamu bilang di awal, bahwa buku-buku itu isinya receh. Lalu, apakah menurutmu masih ada kesempatan untuk menjadi penulis terkenal untukmu Tom?" Jim menguap.

Telah cukup banyak mengutarakan pendapat masing-masing sekaligus kebingungannya terhadap perbincangan malam itu. Perbincangan mereka selesai, Jim mengaku kelelahan dan hendak tidur. Sebelum ia naik ke atas kasur, Jim menyarankan Tom Kecil untuk menggunakan mesin tiknya karena ia pusing mendengar Tom Kecil selalu berkata kasar jika tombol yang dimaksudnya tak pernah muncul di layar. Mungkin saja Tom Kecil juga membutuhkan itu. Maka, ia menyetujui saran Jim dan kembali menulis. Selama ia menulis, kata-kata kotor jarang atau bahkan tidak pernah keluar dari mulutnya tanpa ia sadari. Berkat papan tombol Jim, ia jadi lebih fokus untuk menulis dan benar-benar masuk ke dalam dunia tulisannya.

Lihat selengkapnya