BABĀ EMPAT
NYONYA INDUK SEMANGNYA kehilangan pembatas bukunya. Tak sampai di situ, ketika ia meminta Tom Kecil untuk memeriksa di antara buku-buku, rupanya ia juga kehilangan beberapa buku. Wanita itu sempat mencurigai orang-orang suruhan kepala pelayanan toko buku kemarin. Tom Kecil jadi sasaran kemarahannya. Jika orang-orang di Kotabuku kehilangan kesadarannya karena amarah, mereka juga kehilangan kejeniusan serta ketelitian seorang pembaca. Nyonya Induk Semangnya bahkan tak menyadari bahwa ia seperti itu, ketika Tom Kecil mengatakannya. Kepala wanita itu semakin menggila ketika pada pagi harinya ia masih tak melihat suaminya pulang. Siang menuju sorenya, tanpa sepengetahuan Tom Kecil, ia pergi keluar dari rumahnya mengendap-endap melaluiĀ jalan tikus. Wanita itu berniat mengunjungi suaminya yang berada di kantor polisi dekat pusat kota, namun belum sampai di tengah jalan ia ditangkap oleh polisi yang bertugas di dekat rumahnya.
"Dilarang berkeliaran di jalan-jalan pada jam menulis, Nyonya!" petugas itu, dengan berseragam lengkap beserta senjata api yang bertengger di pinggulnya, berkata. "Anda sudah tahu betul peraturan itu bukan?"
Nyonya Induk Semangnya seketika bertingkah seperti anak yang masih berusia tiga belasan yang masih tak tahu apa-apa. "Benarkah, Tuan?" wajahnya memelas. Mata merah dan wajah pucatnya menunjukkan sesuatu kepada pria itu. "Bukankah sekarang ini hari minggu? Dan bukankah aku bebas sesuka hati kemanapun aku pergi, bukankah begitu?" ia hendak meninggalkan pria itu dan bergegas naik angkutan umum, namun petugas tadi menarik pundak wanita itu dengan segera. "Astaga," Nyonya Induk Semangnya meringis, "Sini aku perjelas lagi. Hari minggu? Ini hari minggu! Apakah masih belum jelas juga?"
"Nyonya, di Kotabuku tidak ada hari khusus untuk berhenti menulis."
"Bahkan sekedar mengambil jeda?"
"Bahkan sekedar mengambil jeda."
"Astaga. Maafkan saya, Tuan. Seharusnya aku mengingat peraturan itu."
Pria itu mengantar wanita yang kehabisan kewarasannya itu kembali ke alamat rumah yang ditujukan kepadanya. Bahkan ia lupa yang mana rumahnya ketika sampai seberang jalan besar. Ketika sudah berada di rumahnya lagi ia bercerita tentang nasib seorang pria yang tak pernah membaca kepada Tom Kecil. Raut wanita itu begitu tegas ketika menceritakan sesuatu kepada Tom Kecil, apalagi hal itu menyangkut kecintaan orang-orang Kotabuku dengan membaca dan menulis.
"Itu mengakibatkan betapa kerasnya jiwa seseorang, yang seakan membatu," kata Nyonya Induk Semangnya.
Dan memang di Kotabuku hanya ada beberapa kelompok masyarakat yang tidak diperbolehkan untuk membaca buku, yaitu salah satunya aparatur sipil negara. Apalagi sekedar membaca buku-buku fiksi, seperti novel, cerita pendek, maupun puisi-puisi. Maka tak heran jika Tuan Induk Semangnya dulu bermaksud menjadi aparat sipil. Namun, katanya, orang-orang yang bekerja menjadi aparat sipil terlalu kaku baginya, sehingga ia mengurungkan niatnya itu.