BAB ENAM
PADA AKHIRNYA, Alofon hanya sampai semester ketiga. Mereka bertiga sebetulnya merasa kehilangan terhadap salah satu teman kamarnya itu. Namun, kedua teman Tom Kecil yang lain tetap saja membicarakan Alofon dengan gaya sindiran, ala orang-orang Kotabuku. Seketika ruangan tempat mereka tinggal terasa lebih dingin dan sejuk. Sebelumnya lebih ke hangat mendekati panas dan pengap. Apa mungkin karena bokong yang biasa, setiap hari, menghangatkan ruangan kini telah tiada?
Semester baru ini membawa semangat baru Tom Kecil. Tugas-tugas yang awalnya hanya berkutat mengenai karya tulis yang sifatnya teoritis dan bersumber, kini lebih banyak tugas-tugas yang melibatkan kemampuan kepenulisannya. Sebagai penulis fiksi, seperti Tom Kecil dan semua murid seangkatannya, menjadikan semester ini menjadi ajang mengasah kemampuan. Berimajinasi dan berkreasi sebebas-bebasnya. Guru-guru baru semakin menambah kesan kesegaran semester baru ini. Kemudian, rasa keterkejutannya semakin memparah ketika Tom Kecil melihat salah satu guru baru itu masuk ke dalam kelasnya. GURU BARU ITU NYONYA INDUK SEMANGNYA!
Ketika wanita itu masuk dan memperkenalkan diri, Tom Kecil tak berhenti menatap kosong ke papan tulis di belakang wanita itu. Semua ini bagai mimpi baginya. Sudah hampir satu tahun ia tak bertemu dengan Nyonya Induk Semangnya. Terakhir kali mereka bertemu saat Tom Kecil menyerahkan naskah novelnya, yang sudah selesai direvisinya, di toko buku Tuan Signe. Nyonya Frasa mengambil empat mata pelajaran sekaligus dalam satu semester ke depan. Mata pelajaran yang ia ampu adalah penulisan cerita pendek, yang saat ini Tom Kecil hadiri, penulisan puisi, penulisan novel, dan pelajaran sejarah.
Tekuk lidahnya lihai dan tajam ketika wanita itu berperan sebagai guru di kelas. Selama dua jam penuh wanita itu menjelaskan sejarah singkat Kotabuku, penulis-penulis paling berpengaruh orang-orang Kotabuku, yang anehnya tak pernah muncul nama R.R. Pujangga, hingga seluk-beluk terciptanya karya tulis berbentuk prosa.
Menurut guru barunya itu, menulis cerita itu seperti menyambung pipa-pipa air seperti saluran-saluran pipa dalam tanah Kotabuku. Setiap kejadian dalam menulis cerita harus saling terhubung sehingga menciptakan kejadian yang sebelumnya tak tampak nyata di depan. Itu disebut hukum sebab-akibat dalam dunia kepenulisan, katanya. Sebab-akibat itu bisa dibagi menjadi adegan yang sedang berlangsung, artinya yang sedang ditulis, dan adegan yang berupa hasil dari sebab, artinya bab-bab yang telah ditulis sebelumnya. Nyonya Frasa menyebut ini sebuah 'jalan kontinual' sebuah cerita.
"Cerita baru dapat dikatakan cerita ketika sang penulis berhasil menciptakan pipa-pipa yang tadinya 'tak ada' menjadi 'ada' sehingga jalan cerita itu bergerak, mengalir ke depan, melalui pipa-pipa yang dibuat saling terhubung tadi," suaranya lantang ketika menjelaskan pada bagian ini.
Begitulah, betapa penting struktur sebuah cerita bagi penulis menurut Nyonya Induk Semangnya atau guru barunya itu. Tak lupa, sebelum menutup kelasnya, wanita itu berpesan kepada para siswanya serta para penulis untuk memanfaatkan lokapasar pada situs daring milik pemerintah itu.
Saat itu Nomina dan Adjektiva, nama kedua teman sekamarnya yang masih bertahan, mencegatnya di balik daun pintu kelas. Teman yang menantang Tom Kecil untuk menulis puisi, yaitu Nomina, menagih tulisan Tom Kecil. Jelas ia belum menulis puisi apapun. Bagaimana menulis, pikir Tom Kecil, justru semangat menulisnya rusak pagi ini. Naskah novel yang telah ia tulis hampir 30.000 kata itu hilang. Mesin tiknya tak bisa dipakai untuk menulis, kemudian orang yang rela meminjamkan mesin tiknya semester ini telah pergi. Tambah lagi, ia sampai sekarang belum mengetahui kabar dari Prosa.
"Begini saja," kata Nomina. "Kau bergabung saja dengan Organisasi Perkumpulan Penulis Siswa," Tom Kecil berkelit setelah itu.
"Masih ada buku-buku pinjaman yang belum saya kembalikan," balas Tom Kecil.
Kedua temannya tampak kecewa.
"Hari ini, lebih tepatnya nanti malam, kau kutantang membaca puisi di pertemuan mereka, bagaimana?" balas Adjektiva setelah menimbang pemikirannya.
"Saya tidak suka puisi-puisi I.J.J,"
"Puisi siapa saja, kalau begitu Tom," Nomina mengulurkan tangannya untuk dijabat Tom Kecil sebagai tanda penerimaan.
"Nanti malam selepas kelas sore..." Tom Kecil menghela nafasnya panjang.
"Apa kau takut, Tom?" mereka tertawa. Nomina yang tertawa lebih keras.
"Kupikir sudah waktunya kau melepas beban pikiran terhadap Prosa, kawan," Adjektiva memukul bahu Tom Kecil. Dalam dada Tom Kecil ucapan itu sangat menusuk, bagai ujung pedang para ksatria tangguh manapun. Nafasnya menjadi berat. Tulangnya seakan menjadi lunak. Tom Kecil berkata: