BAB TUJUH
TOM KECIL MENYANGKA bahwa peretaslah yang telah menghilangkan naskah novel pertamanya. Kemudian ia tak banyak berbuat pada mesin tiknya untuk mengusahakan agar naskahnya kembali. Namun, sebagai gantinya, ia jadi begitu lebih sering berkunjung ke kantor Nyonya Induk Semangnya di halaman guru sekolahnya. Tom Kecil awalnya mengira ia sangat mengenali perangai wanita itu. Tapi, ternyata dugaan itu tak berlaku ketika ia bertemu langsung dengannya saat di sekolah. Tom Kecil banyak memerhatikan sekeliling ruang kerja wanita itu. Banyak juga buku-buku, salah satunya tak asing baginya, yaitu yang pernah ia bawa dari toko buku Tuan Signe. Ketika menyinggung langsung toko buku itu, Nyonya Induk Semangnya mengungkapkan rasa prihatinnya.
"Meski begitu," katanya lembut. "kau telah berani menulis dan menyelesaikannya, Tom," ia duduk di kursi kebanggaannya. Wanita itu tampak rapuh jika sedang serius membaca buku tebal sambil menunduk di balik meja kayu di depannya. "Sementara mengenai naskahmu yang hilang itu, percayalah, menurut kata hatiku, seorang penulis sejati pasti akan punya jalan untuk kembali menulis," ia menyesap teh manisnya. Kilauan bingkai kacamatanya yang berwarna keemasan itu semakin membuatnya terlihat layu. "Dengan catatan, jika kau memang memiliki jiwa seorang penulis sejati," matanya tak pernah menatap mata Tom Kecil ketika ia bicara. Kecuali jika ada hal yang membuatnya terkejut atau ia sedang tak membaca buku. Rak buku di belakangnya terlihat mencolok dengan huruf-huruf berinisial Z.
"Buku-buku yang ditulis para guru?" tanya Tom Kecil. Suara pendek wanita itu mengerang. Tanda ketidaksetujuannya.
"Lebih tepatnya, penulis-penulis yang merangkap menjadi guru,"
"Apakah Anda sedang membaca semua buku para penulis guru-guru ini?" tanya Tom Kecil.
"Oh, sedang mencoba kembali membaca catatan-catatan pribadi," alis Tom Kecil terangkat.
"Anda membaca buku-buku yang Anda tulis sendiri?" garis bibir Nyonya Induk Semangnya tersimpul manis, namun kepalanya tetap tertunduk sambil membaca.
"Kau tahu," tiba-tiba wanita itu menaruh bukunya di atas meja dan menutupnya, dan seolah baru kali ini ia memerhatikan air wajah Tom Kecil. "Cobalah menjadi seperti apa yang kau inginkan. Jangan banyak percaya dengan perkataan-perkataan mereka di media sosial mengenai penulis," wanita itu tertawa sedikit. "Menyamaratakan penulis? Tata cara menjadi penulis yang baik dan mudah terkenal?" matanya melebar. "Benarkah ada orang yang akan peduli dengan mengikuti arahan-arahan tersebut? Oh, jelas, itu muda-mudi. Mudah saja bagi mereka untuk percaya, bahkan pada tulisan-tulisan receh, di media sosial. Apakah termasuk kau, Tom?" tatapannya penuh tuduhan.
Tom Kecil salah tingkah. Ia bahkan tidak jadi untuk menimpali perkataan guru barunya itu.
"Kalau kau perhatikan," kata wanita itu lagi. "Kebanyakan di antara mereka memiliki motif untuk menjadi sekedar terkenal," ia menaruh kacamatanya di atas meja. "Jika kau hanya ingin menjadi terkenal, pergi saja ke tempat ramai lalu buatlah kegaduhan sampai menggemparkan orang-orang. Atau buatlah tindakan kriminal yang fenomenal bagi para wartawan. Percayalah, kau akan cepat terkenal," wajahnya kini benar-benar tampak kelelahan, persis seorang wanita yang telah memendam perasaan sedih mendalam setelah bertahun-tahun. Memang anaknya telah meninggalkannya ketika ia seumuran Tom Kecil. Nyonya Induk Semangnya tak jarang teringat ketika melihat Tom Kecil.
Tom Kecil mengalihkan pandangannya pada rak-rak buku yang lebih kelihatan usang, itu tepat di belakang rak-rak buku yang masih tampak baru itu.
"Kau tahu, Nyonya," katanya. "ketika saya berada di perpustakaan, beberapa waktu lalu, saya sempat kesulitan mencari buku-buku karangan R.R. Pujangga," Nyonya Induk Semangnya tampak tertarik. "Kemudian baru saya temukan pada rak buku yang letaknya persis seperti rak-rak buku di sana," ia menunjuk rak itu dengan raut wajah polosnya.
Kejadian-kejadian seperti inilah yang membuat Nyonya Frasa kembali teringat dengan anaknya. Ia memandangi Tom Kecil cukup lama.
"Aku terkejut," kata wanita itu. "Kau mungkin satu-satunya murid di sekolah ini yang tertarik dengan R.R. Pujangga, Tom," nadanya serius. "Dari ribuan murid yang lebih banyak membicarakan I.J.J., kau justru malah tertarik dengan penulis yang, bisa dikatakan, tidak menonjol dan tidak sepopuler I.J.J."