BAB SEPULUH
KERIUHAN INI berakibat pula pada nasib Tom Kecil sebagai penulis. Pada akhirnya, seluruh penerbitan yang ada di Kotabuku dipaksa tutup oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Situs daring milik pemerintah pun banyak yang tak dapat diakses akibat maraknya peretas. Dengan begitu, Tom Kecil tak dapat mengakses naskah-naskahnya yang telah ia kirimkan kepada penerbit-penerbit. Hal itu mengakibatkan hilangnya seluruh naskahnya beserta kertas-kertas yang telah ia kirimi.
Tom Kecil saat itu berniat seharian menghabiskan waktu berada di kamarnya. Targetnya kini hanya menulis cerita-cerita lebih banyak lagi, tak peduli apa kata Nyonya Induk Semangnya, bahwa sebentar lagi ia akan dipaksa keluar karena mulai menunggak uang sewa. Tak ada yang membeli tulisannya selama ia menulis, artinya tak uang untuk membayar tagihan uang sewanya. Tom Kecil sebelumnya sudah memutuskan untuk mengundurkan diri dari kantor-kantor tempat ia bekerja. Menulis berita-berita bohong rupanya lebih menjamin daripada menulis cerita-cerita dalam bentuk karangan. Sebulan lebih ia tak bekerja di kantor, dan kejadian hari ini membuatnya kehilangan gairah hidupnya sebagai penulis sejati. Ungkapan 'bekerjalah sesuai dengan passion' rupanya kata manis semata.
Siang sampai malam hari, Tom Kecil masih memerhatikan para pebisnis menjual buku-buku mereka dengan mengetuk pintu-pintu rumah, persis yang dikatakan Tuan Frasa mereka seperti kolektor hutang.
Melalui gawainya Tom Kecil mengetahui bahwa semakin cepatnya pergantian tahun, angka orang yang mengalami kerabunan semakin meningkat. Nyonya Frasa baru kemarin mengecek matanya dan mendapat keterangan bahwa ia baru saja menambah minus dua. Wanita itu tak begitu peduli dengan rabun matanya, toh, pemerintah menyediakan banyak kacamata secara cuma-cuma. Kemudian wanita itu kembali pada pad biasa ia membaca sebuah buku yang baru terbit, terutama buku I.J.J. Setelah perkembangan peralihan dari buku-buku kertas ke buku-buku elektronik membuat rak-rak buku di rumah-rumah penduduk Kotabuku hanya digunakan sebagai hiasan, atau sebagai cadangan apabila terjadi pemadaman listrik selama seminggu. Tetangga-tetangganya setiap hari menggunakan kacamata yang tebal ke mana-mana. Untunglah Tom Kecil tak pernah membaca buku melalui gawainya atau pad. Nyonya Induk Semangnya merasa takjub dengan kondisi Tom Kecil, walaupun ia mengalami rabun jauh, tetap tak memakai kacamata seperti para tetangga maupun anak seusianya. Tak peduli ia selalu dibicarakan oleh para tetangganya karena berbeda, bahkan Tom Kecil mempunyai pemikiran sendiri bahwa memedulikan omongan para tetangganya sama halnya dengan memedulikan letak tetikus di meja kantornya dulu-ya, begitu tak penting untuk dibicarakan. Pikirnya lebih baik ia menyelesaikan cerita-cerita pendeknya sampai kemudian pada esok harinya ia dapat mengirimkannya kepada para penerbit.
Tuan Induk Semangnya kembali menulis berkat pemengaruh penulis-penulis aliran baru. Tom Kecil bahwa sudah tak merasa takut diawasi walaupun bayang-bayang ketidaksukaan pria itu masih menyelimuti lubuk hati Tom Kecil. Ada kejanggalan di pagi harinya, setelah Tom Kecil selesai menyelesaikan beberapa tulisan pendeknya, Tuan Frasa tak mau tulisannya dikomentari ketika istrinya membaca tulisannya. Ia mau tulisannya tak pernah direvisi.
"Biarlah sebagaimana adanya," katanya. Bahkan ia sudah tak peduli dengan tata letak tanda baca yang benar. Huruf besar setelah tanda titik pun tetap ia tulis huruf besar walaupun tak ada tanda titik sebelumnya. Ia tak peduli, "menulis, ya, menulis," lanjutnya.