Embun-embun masih terasa menemani daun. Langit pagi masih samar-samar menutupi mentari pagi yang keluar memenuhi tugasnya dari Tuhan untuk menerangi bumi. Memang benarlah firman Tuhan, “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” Bukankah Tuhan pula telah menasbihkan bahwa “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan dan tetumbuhan dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya).”
Seseorang bergerak cepat seakan-akan waktu telah menyayatnya. Karena waktu adalah ritme kehidupan. Lelaki muda ini bergegas terselimuti dengan pikiran dalam kenangan-kenangan lampau. Masa lalu menyelimuti bagai awan di langit.
Lelaki muda ini akan kembali pada desa kenangan yang telah ia tinggalkan selama lima tahun lalu, tanpa kembali dalam senja waktu sedikitpun. Hari ini adalah waktunya ia kembali. Jarak tempuh menuju desa itu ia lalui jalur darat, ia tempuh naik speed boat selama 1 jam, ditunggunya di terminal mobil penumpang untuk ke desa W, desa kelahirannya, tempat tinggal Pak Hamid ayahnya tercinta.
Nama lelaki muda ini adalah Gifar. Lima tahun yang lalu, ia menempuh pendidikannya dengan penuh duka, tekad dari orang-orang sederhana. Ia terus terbayang dalam lamunannya. Selama perjalanan kembali ini. Dalam lamunannya sambil didengarlah lagu Sisir Tanah – Lagu Hidup.
Kita akan selalu butuh tanah
Kita akan selalu butuh air
Kita akan selalu butuh udara
Jadi teruslah merawat
Jika kau masih cinta kawan dan saudara
Jika kau masih cinta kampung halamanmu
Jika kau cinta jiwa raga yang merdeka
Tetap saling melindungi
Dan harus berani, harus berani
Jika orang-orang serakah datang
Harus dihadang
Harus berani, harus berani
Jika orang-orang itu menyakiti
Harus bersatu menghadapi
Sedihmu adalah sedihku juga
Sakitmu sakitku sakit kita manusia
Bahagiaku takkan lengkap tanpa bahagiamu
Bahagiakanlah kehidupan