Orang-Orang Sederhana

M. Sadli Umasangaji
Chapter #4

Orang-Orang Sederhana Memang Harus Bersekolah?

Turunlah hujan. Cuaca di Desa W atau di Kecamatan MK memang agak aneh, kadang pagi sampai siang bisa sangat panas, tiba-tiba sore sampai malam bisa hujan turun dengan deras. Hujan adalah salah satu siklus air. Air yang menguap dari permukaan bumi, memadat di langit lalu membentuk awan. Kemudian air turun kembali ke bumi. Membentuk sungai yang mengalir ke laut lalu kembali ke langit lagi.

Semua yang ada di dunia ini adalah bagian dari roda kehidupan. Tumbuhan, serangga, dan binatang, hidup dengan memakan yang lainnya. Ketika mati mereka kembali ke bumi. Roda ini terus berputar sampai akhir masa.

Dan mereka yang keluar dari roda itu.

Harus pergi kemana?

Bukankah manusia diciptakan untuk berpikir?

Di desa W memang toleransi tumbuh subur. Tapi tetap ada perbedaan atau friksi yang disebabkan karena kekuasaan. Ada kelompok yang pro tuan A, ada kelompok yang memihak pada tuan B. Bahkan friksi yang sebelumnya hanya dua kini menjadi tiga. Satu kelompok berpihak pada kepala desa yang lama, satu kelompok berpihak pada kepala desa yang baru terpilih dan satu kelompok yang memihak pada tokoh masyarakat yang lain. Kekuasaan memang selalu memicu perbedaan bahkan perpecahan karena kepentingan akan kekuasaan.

Pak Hamid berpihak pada siapa? Ia memilih tak terlibat pada konflik. Ia hanya menolak kepala desa yang cenderung memihak pada borjuis. Memihak pada tambang yang tak berpihak pada kebutuhan sehari-hari rakyat disini, di desa W.

Penduduk desa yang memang menyaksikan dengan mata kepada mereka sendiri tentang penderitaan, kesengsaraan hidup, kemelaratan, dan kenestapaan. Di tengah-tengah friksi karena kekuasaan, ternyata hanya menorehkan kepahitan dan kegetiran bagi penduduk desa yang sederhana ini, yang berharap bahwa kekuasaan adalah jalan kesadaran untuk berbagi untuk sesama, untuk membuat semua berbahagia atas harapan-harapan hidup, atas hidup yang memberi pada kesamaan sosial, atas mengurangi sedikit yang nestapa dalam kemelaratan.

“Yang hidupnya melarat makin membengkak, yang tak berkeinginan sekolah makin menjamur, mereka memilih putus sekolah, tak melanjutkan sekolah, pendidikan untuk rakyat kecil makin tidak terjangkau, beban hidup akan kehidupan untuk mencari pekerjaan makin menumpuk, pengangguran makin menumpuk,” Pak Hamid mendesah akan realita di desa.

Lihat selengkapnya