Gifar sudah mulai tumbuh dewasa, keinginan untuk melanjutkan studinya ke pendidikan semakin tinggi tapi kesadaran akan kendala ekonomi keluarga membuatnya berpikir tentang apakah ia boleh melanjutkan pendidikannya?
Hal yang sama direnungi pula oleh bapaknya, pak Hamid. Adakala seorang pemuda tumbuh di tengah kesusahan ekonomi keluarga, tapi ia tak luput akan semangatnya atas mimpi-mimpinya. Adakala ada pemuda hidup dengan orang tua bergemilangan harta, ia pun merasa mudah terfasilitasi akan mimpi-mimpinya. Adakala ada pemuda yang diderai kehimpitan ekonomi, mimpinya pun kandas, ia memilih menjadi pemuda desa tak berpendidikan, pekerja keras semata. Ada pula pemuda hidup dengan kemudahan harta oleh orang tuanya, tapi ia lalai akan semua itu, menjadi pemuda yang hanya tumbuh dalam hingar bingar kehidupan, menikmati yang ada dalam pandangan, lupa akan mimpi ke depan.
Gifar menjalani kehidupan seperti pemuda desa lainnya menikmati sore dengan bermain sepak bola. Setelah sore bersegera membersihkan badan, di dengar adzan menuju sholat maghrib di masjid. Pagi-pagi ia bersekolah. Pulang selepas sekolah, kadang ia bermain seperti pemuda desa lain. Kadang pergi memancing. Kadang membantu sang bapak, memukul batu atau ke kebun, memetik pala, memetik cengkeh. Memang hidup kadang begini. Memetik pala dan bekerja pada orang yang punya lahan.
Suatu waktu datang pemuda-pemuda dari kota T, yang berkuliah di kampus di Kota T, melakukan Kuliah Kerja Lapangan di desa W. Dalam rencana kegiatan mereka, ada yang mengajar di sekolah, membentuk taman pembelajaran, bersama mengajak pemuda meramaikan masjid, membentuk gapura desa. Ada banyak pula kegiatan lain, semisal sosialisasi dan penyuluhan sosial lain. Ada pula pendataan untuk data di desa W.