Orang-Orang Sederhana

M. Sadli Umasangaji
Chapter #17

Tentang Nama

Selain cita-cita, Gifar juga sering berkaca. Mungkin bukan bercermin untuk menunjukkan wajahnya. Bukan berkaca dalam arti seperti biasanya. Ia berkaca terhadap bacaannya, perjalanannya, dan renungan-renungannya.

Renungan itu berjalan pada beribu tahun lalu. Ia datang ke Mekkah dengan semangat kegembiraan walaupun badannya terasa sangat letih. Memang benar, betapa sulitnya perjalanan dan panasnya padang pasir membuat tubuhnya sakit dan lelah, tetapi tujuan yang hendak dicapainya mampu meringankan penderitaan dan membangkitkan semangat dan kegembiraan dalam jiwa.

Ia memasuki kota dengan melakukan penyamaran. Ia kelihatan seperti orang yang akan melakukan tawaf mengelilingi berhala-berhala besar di Kabah, atau seperti seorang musafir yang tersesat dalam perjalanan, atau seperti orang telah melakukan perjalanan jauh sehingga memerlukan istirahat dan menambah perbekalan.

Andai saja orang-orang Mekkah mengetahui bahwa kedatangannya untuk menemui dan mendengar penjelasan Sang Arsitek Peradaban, maka mereka kemungkinan akan membunuhnya. Tapi, ia tak peduli meski harus terbunuh. Asalkan setelah proses perjalanannya yang melintasi padang pasir itu dapat menemui lelaki yang ia cari dan menegaskan keimanan kepada ajarannya.

Ia terus mencari, berjalan, mendengar desas-desus, menelusuri. Hingga ia menemukan tempat persembunyian Sang Arsitek Peradaban. Ketika ia mendapati Sang Arsitek Peradaban ia berkata, “Selamat pagi, wahai kawan sebangsa”

“Keselamatan untukmu wahai sahabat,” sambut Sang Arsitek Peradaban.

“Bacakanlah kepadaku syair Anda,” katanya.

“Itu bukanlah syair yang dapat disenandungkan, melainkan Al-Qur’an yang mulia!” jawab Sang Arsitek Peradaban.

Lihat selengkapnya