Orang-Orang Sederhana

M. Sadli Umasangaji
Chapter #23

Dilema dan Perubahan Nasib


Seperti pada Desa TBB, sebuah perkampungan yang terletak di wilayah lingkar konsesi petambangan PT N. Karena pembangunganisme yang tumbuh subur. Sebagai buah dari impianisasi pembangunan. Menciptakan standar hidup yang baik. Ideologi dominan ini menganggap kehidupan berbasis ekonomi subsistem sebagai sebuah tatatan kemiskinan. Orang-orang desa dianggap miskin jika mereka makan sagu, makan popeda, makan kasbi. Karena mereka tidak makan beras yang merupakan hasil produk komersial atau makanan instan yang dijual oleh pengusaha global. Mereka kelihatan miskin jika tinggal di rumah yang dibangun sendiri dengan menggunakan bahan-bahan dari alam seperti atap rumbia dengan dinding bambu dan bukan menggunakan beton atau semen.

Kenyataannya, kemiskinan haruslah sebuah akibat langsung dari praktek perampasan ruang hidup oleh negara dan korporasi, sementara kehidupan subsistem yang mampu memenuhi kebutuhan pokok dengan hasil sendiri bukanlah kemiskinan. Realitasnya subsistem yang sederhana oleh orang-orang sederhana adalah realitas kemiskinan.

Seperti cerita-cerita Aba J di Desa TBB. Dulu desa TBB banyak sekali hasil laut di Teluk. Bahwa jejeran bagan mengitari kawasan Teluk K. Dulu kalau musim bagus, ikan seperti ikan ngafi itu ponong (penuh) di bagan. Saat itu nelayan yang melaut dengan jarak sekitar tiga puluh meter sudah bisa mendapatkan ikan dan hasil laut lainnya.

Sekarang tidak lagi demikian. Sekarang kalau dapat ikan ngafi setengah saja sudah syukur. Ya, bisa jadi ikan dan hasil laut di Desa TBB berkurang bukan hanya akibat limbah tapi juga karena jumlah populasi manusia di sekitar desa yang juga semakin banyak.

“Posisi Teluk K itu seperti danau, di sisinya dangkal dan menyatu dengan pesisir, sementara di tengahnya dalam. Ikan dan hasil laut hanya ada di sekiling situ, sementara populasi manusia mencapai ribuan dan terus saja bertambah,” cerita dan asumsi Aba J.

Aba J melanjutkan, “Selain itu beda dengan Kota Manado atau beberapa daerah lain, nelayan memiliki pasar yang cukup baik untuk keberlangsungan hidup. Tapi di provinsi MU, nelayan tidak bisa hidup sejahtera. Lihat nelayan Desa AKL sekarang penghasilannya anjlok atau lihat Desa T, wilayah Tidore. Dulu kapal fiber nelayan sangat banyak, sekarang sudah berkurang.”

Beberapa yang lain memberikan asumsi produksi ikan seperti ikan ngafi, suntung (cumi), udang kecil di sekitar desa TBB menurun karena akibat dugaan pencemaran laut oleh aktivitas penambangan dan pengelolaan limbah pertambangan. Dulu ikan ngafi oleh nelayan Teluk K dikirim lewat kapal ke Surabaya.

Warga desa TBB dulunya juga adalah penghasil balacang (terasi). Warga desa TBB membuat terasi udang secara tradisional dengan membungkus dari daun woka. Nelayan memang sudah akrab dengan aroma amis hasil laut. Selain itu, seperti umumnya di Provinsi MU, mereka adalah petani dan pekebun. Mereka bakabong (berkebun) pala, cengkeh, kelapa. Atau hasil tanaman bulanan seperti sayuran, pisang, rica (cabe), tomat. Atau bahan makanan kobong (kebun) lainnya seperti kasbi (singkong), batata (ubi jalar) dan ubi lain seperti bete. Tapi umumnya masyarakat MU menanam kasbi dan batata. Kasbi kadang akan dijadikan bahan popeda.

Perilaku warga berubah. Berubah semenjak perusahaan pertambangan mulai melakukan akses ke desa TBB. Mereka berubah menjadi konsumtif. Kepentingan besar di balik konsepsi mengejar pembangunan, mulai tampak menyelimuti desa. Walaupun masyarakat desa sedikit tahu bahwa desas-desus kepentingan besar itu adalah menukar tanah, air, hutan, laut serta sumberdaya masyarakat lokal mereka dengan konsepsi pertambangan. Orang melawan menyebutnya teknologi perusak lingkungan.

Kehidupan desa telah terjebak dalam impianisasi kehidupan kota. Kehidupan kota yang modern, maju, terasa indah bagi orang desa yang mengimpikan itu. Seperti di kota yang terimajinasikan gedung-gedung tinggi, hotel-hotel, mobil, kemewahan, pusat perbelanjaan, tempat hiburan, handphone mewah, bioskop, internet. Orang desa termasuk desa TBB ingin menggapai kemajuan itu, dengan dalih mengejar ketertinggalan, modernisasi.

Mula-mula mereka menukar tanah, air, kebun, hutan, laut, padahal itu semua sebagai gambaran milik bersama sepanjang generasi. Terkhusus mereka memilih menjual tanah untuk korporasi tambang. Harga tanah disini memang lumayan menjanjikan. Dapatlah mereka sedikit kemewahan, motor, mobil dan juga membangun rumah.

Lihat selengkapnya