Tokoh muda itu begitu kami kagumi. Terutama gerakan perlawanannya. Gagasan-gagasannya. Aku, Ismu dan Arkan mengaguminya. Kami sering mendengar gagasan-gagasannya dari penjelasan Bang Sira. Ia sendiri adalah tokoh revolusioner. Tokoh Muda revolusioner. Tokoh Gerakan Muda Langit Senja yang melawan kepemimpinan Tuan Hirto waktu itu. Tokoh itu yang sudah kami sering katakan, Namanya Diman Hamzah.
Ia mengatakan “Aku dilahirkan di sebuah negeri di mana ada kesuburan tanah, curah hujan yang baik, tapi kemiskinan di sekitar lingkunganku terlihat adanya. Aku ingin melakukan sesuatu. Aku ingin bisa membuat orang-orang di sekitarku yang sederhana itu bahagia.”
“Pertama, tanah yang subur untuk tanaman jenis apapun, kedua, kemiskinan karena adanya penyingkiran-penyingkiran disebabkan oleh ekspansi perkebunan,” kata ia lagi.
“Aku melihat orang-orang di sekitarku adalah orang-orang sederhana. Sederhana yang berkaitan dengan pakaian dan kondisi hidup yang mereka alami. Bahkan juga sederhana dalam mimpi dan juga pemikiran-pemikiran”
“Mereka sederhana dan mereka kalah. Itulah masalahnya sekaligus kenyataannya,” katanya lirih.
Ia adalah tokoh muda revolusioner dari Gerakan Muda Langit Senja pada masa itu untuk meruntuhkan kekuasaan Tuan Hirto. “Aku persis berada di tengah situasi yang sama sekali tidak tampak sebagai peristiwa politik ini. Tapi inilah peristiwa politik yang paling mungkin terjadi ketika institusi-institusi demokrasi diinjak-injak oleh pemerintah sendiri. Pada gilirannya, rakyat akan menunjukkan aspirasinya lewat poster, spanduk, atau mungkin batu, dan pasta gigi. Saat penguasa percaya bahwa gas air mata dan peluru dapat memadamkan gerakan ini. Dia akan kehilangan pijakan realitasnya.”
Kami mengenang cerita gerakannya, Bang Sira juga mengaguminya dan sering menceritakan kisah gerakannya, “Kami memiliki teknik-teknik untuk melakukan mobilisasi massa aksi, sebesar apapun, dan untuk memastikan semuanya berjalan damai. Sementara ledakan sosial yang terjadi ini sungguh ekspresi rasa putus asa rakyat yang sayangnya secara kondisional, tak terorganisir dengan baik.”
Karena perlawanan pada Tuan Hirto, ia terpaksa dicari-cari sebagai pencarian orang. Dia bahkan akhirnya tertawan dan dimasukan ke dalam penjara. “Kami lalu bergerak Kembali ke tempat persembunyian. Tiba-tiba didengar suara sirine dari arah jalan. Jantungku berdebar. Tubuhku terasa gemetar. Aku kadang terasa takut ditangkap.”
“Dunia pelarian sesungguhnya adalah sebuah dunia lain yang penuh rasa berdebar sekaligus kotor. Dalam pelarian, duniaku seperti dibatasi dalam lorong-lorong pembuangan air yang beraroma busuk. Aku kadang bisa tersenyum tapi lebih banyak tak bisa tertawa, berbicara, dan menangis atau aktivitas yang membuka mulut secara besar. Lebih banyak terasa aroma makhluk kotor.”
Kemudian ia tertangkap. “Aku seperti berada pada batas antara kematian dan kehidupan. Mataku ditutup kain. Kemudian aku juga diborgol. Mereka memborgol dan menutup mataku seakan aku dibawa dalam ruang kekosongan, kemudian diloloskan dalam ruang yang tak bertuan.”