Orang-Orang Sederhana

M. Sadli Umasangaji
Chapter #31

Jalan Sunyi

 

Perlahan-lahan mata akan tertutup dan semua akan berpikir tentang berbagai hal. Selagi waktu berjalan, ingatan akan menelusuri lorong waktu yang telah mencuri sebagian hidup kita. Di tengah-tengah saat yang tak berubah-ubah. Seperti fajar yang mengunjungi langit di mentari pagi. Dan matahari memang bersinar seperti biasanya. Di tengah-tengah waktu akan masih ada yang selalu berubah. Dan kita akan terus berharap, dan seperti yang akan terus kita lakukan.

Setelah menyelesaikan pendidikan. Seperti biasanya para sarjana lain. Bingung akan realitas hidup. Bingung antara idealisme atau pragmatisme dalam mencari kerja. Gifar memilih menjadi pekerja biasa. Pernah menjadi staf di Kantor Desa hingga kini dipekerjakan di sebuah Yayasan Sosial. Tidak serta merta mau bekerja di perusahan tambang dengan gaji yang menggiurkan. Pilihan-pilihan yang kadang terlihat dungu dalam realitas. Atau mungkin karena dia sendiri pusing dengan minimnya orang dalam di perusahaan tambang.

Beberapa temannya dulu semasa aktivis, ada yang memilih melanjutkan karir gerakan di partai politik, ada yang memilih menjadi ASN, atau ada yang memilih menjadi pekerja tambang atau beberapa memilih bekerja di lembaga-lembaga Filantropi dan kelihatannya lebih banyak yang masih menunggu-menunggu di rumah, bahasa kasarnya belum mendapatkan pekerjaan.

Berbeda dengan Gifar, temannya sesama aktivis, Ismu misalnya dengan terpaksa berseberangan dengan pikiran-pikiran semasa mahasiswa dan dengan terpaksa memilih menjadi pekerja tambang. Padahal mereka dulu berkali-kali aksi menolak pertambangan, tentang kehilangan ruang hidup, kerusakan alam, dampak pada air dan pencemaran, dampak pada udara, dan kelalaian-kelalaian yang terjadi pada pekerja tambang dengan resiko-resiko yang berat. Seperti pekerja tambang yang tergilas alat berat, tertindis oleh bongkah material yang besar, tertimbun longsor hingga atau karena upah-upah yang kadang tak sesuai dengan pekerjaan atau pemecatan sepihak yang kadang dilakukan secara tiba-tiba. Walaupun diiringi dengan resiko-resiko besar, tak sedikit pemuda-pemuda desa hingga orang-orang kota yang tergiur bekerja sebagai pekerja-pekerja tambang bahkan hingga ke desa-desa pertambangan yang jauh. Ismu termasuk didalamnya, ia memilih karena kebutuhan hidup dan kesempatannya sebagai putra daerah di kabupaten yang memiliki daerah tambang. Memang lebih realistis. Mungkin Ismu memilih menerima realitas hidup sembari mengumpul isi kantong untuk karir-karirnya ke depan, menjadi politisi misalnya.

Gifar terkenang dengan kata seniornya dulu di masa-masa aktivis, “Saat ini kita kadang sebagai aktivis masih berpikir besar karena masih di aquarium, belum benar-benar masuk dalam lautan yang bebas”. Senior yang bernama Bang Sira itu juga mengatakan “Menjadi kiri semasa aktivis itu kenikmatan, dang terus menjadi kiri sampai masa tua kadang-kadang lebih dipandang bodoh”. Ya, kata Bang Sira itu sekedar menyinggung beberapa senior aktivis yang dulu berleha-leha tapi kini duduk santai sembari memelihara tubuhnya lama-lama perutnya makin ke depan. Seperti beberapa aktivis senior yang sudah bergabung dalam pemerintah atau menjadi politisi, seperti Bang Adlun, yang dulunya berkali-kali mengkritisi proyek infrastruktur kini malah merestui dan berbahagia dengan berbagai proyek-proyek infrastruktur ketimbang kesejahteraan masyarakat-masyarakat kelas bawah. Bang Diman yang sibuk dengan mega proyek, Bukit Rusa, sebagai proyek transformasi digital untuk intelegensia. Mereka tak lagi kiri secara kasat mata. Dan menjadi kiri di masa tua itu bla bla bla. Dan puisi Wiji Thukul terngiang-ngiang di telinganya.

 

Kau kehendaki adanya

Engkau lebih suka membangun Jalan raya

Membangun pagar besi

               

#

Suatu waktu, Gifar diminta pimpinannya di kantor, turun ke Daerah Utara. Daerah Utara yang dulu pernah ia datangi. Daerah Utara yang dikenal daerah tanpa jaringan, akses transportasi sulit. Mereka bagaikan orang-orang introver. Terkukung dalam kesenyapan publik. Gifar menaiki kapal kayu, transportasi yang digunakan untuk ke daerah Utara. Menaiki kapal ini akan tercium aroma kopra. Kopra sebagai kenangan dan perjuangan Orang-Orang Sederhana. Kelapa yang diasapkan itu, kemudian akan dijual untuk dijadikan minyak. Kopra adalah mata pencaharian utama masyarakat di sini.

Di atas kapal di tengah aroma kopra, Gifar duduk di belakang kapal. Memang menikmati laut dari belakang kapal terasa indah dan nikmat, angin yang bertiup kencang menyapu rambutnya. Kapal akan singgah di setiap desa yang dilewati dan penumpang dari desa itu naik menggunakan perahu bodi ke kapal ini. Lima sampai sepuluh orang, bukan untuk naik ke kapal, tapi membantu mengangkut kopra ke kapal. Memang ada pula penumpang menuju Kabupaten di Pulau H bagian Utara pula. Gifar dari Timur menuju Kecamatan Utara, masih dalam Kabupaten HT.

Orang-orang yang terlihat introver ini, Gifar membatin berkata, "Samakah mereka denganku dulu tanpa impian? Atau adakah secuil impian dalam dada mereka?"

Atau mereka adalah orang-orang ekstrover yang terkukung dalam kesenyapan publik. Tak seperti orang kota tentunya. Mereka tak menikmati bioskop, layanan internet, atau berita-berita koran, yang mereka pandang hanya gemulai pohon kelapa.

Di atas kapal ini, di belakangnya, duduk orang-orang beragam. Apa maksud mereka ke Utara ini. Tapi ada yang membicarakan proyek gedung sekolah yang dibangun di Desa D, proyek selokan di Desa Wa. Kemudian ada yang membincang ketika melihat orang-orang di seberang pulau, di seberang desa sana, mau ke kapal, tapi kelihatan ragu-ragu menanti kapal berhenti, "Ini kalau ada jaringan kan tinggal telepon, orang-orang di sana kemari. Orang-orang disana sudah naik pesawat. Sudah menjelalah dunia maya. Kita disini jaringan saja me tara ada (tidak ada),” Orang-orang di belakang kapal itu berbincang.

Di belakang kapal ini ada kantin, lagu dangdut silih berganti, lagu Ambon tak kalah memberi warna pada kapal itu. Ada bapak-bapak, Gifar melihat mereka terasa bergembira menikmati musik itu. Dari lagu dangdut sampai lagu daerah, Goyang Tobelo, Tide-Tide, dan lainnya. Gifar duduk di belakang sambil menuliskan apa yang ingin ia tulis.

Hampir setiap satu atau dua jam, kapal tiba dari satu desa ke ke desa satunya lagi, orang-orang dari desa itu menggunakan kapal bodi, menuju kapal, sekali lagi mengangkut kopra, setiba di kapal dipindahkan lagi kopra ke kapal, hantaman ombak membersamai. Mereka terlihat menikmati, mungkin kopra adalah lumbung uang mereka. Kopra adalah kenikmatan. Kopra adalah segalanya.

Di belakang kapal ini ada yang memesan kopi, ada yang sekedar menikmati rokok sebatang. Gifar makan mie instan, itu saja makanan yang tersedia. Mau bagaimana lagi.

Ia ke Daerah Utara, untuk melakukan tugas dari yayasan untuk pemantauan status gizi, melihat anak-anak yang stunting. Atau pula melihat anak-anak gizi buruk. Ini permasalahan yang identik dengan status ekonomi keluarga si anak. Sekaligus wawancara dan pendampingan pada keluarga balita tersebut.

Setelah beberapa hari di Daerah Utara ini, ia balik. Ia terpaksa menaiki perahu bodi bukan lagi kapal. Karena jadwal kapal yang lama dan ada kapal yang naik dok, istilah untuk kapal yang lagi rusak dan belum bisa berlayar. Ia menyewa perahu bodi sampai Desa So. Di perahu bodi, ia melihat Ude, anak kecil yang ikut Pamannya membawa bodi yang disewa ini.

Gifar bertanya pada Ude, “Masih sekolah ka su tarada? (Masih sekolah atau tidak? (sudah berhenti sekolah?)” Ude hanya menjawab dengan tersenyum, “Sekolah om.”

Lihat selengkapnya