“Biar aku ingat-ingat dulu. Kau ingin tahu segalanya tentang aku, kan? Bukankah kau ingin membelah otakku untuk membaca bagaimana pikiranku bekerja? Sebab aku sendiri penasaran, ingin sekali kubedah dadamu, keluarkan hatimu, lalu kupahami dengan lebih teliti tiap jalinan pembuluh darahnya. Mungkin saja di sana ada jawaban tentang bagaimana sebenarnya perasaanmu ketika kau bersamaku pada saat detik-detik terakhir tarikan napasmu. Biar aku ingat-ingat dulu, supaya kau puas dengan jawaban atas jutaan pertanyaan yang terpancar dari sisa-sisa kehidupan di kedua bola matamu, dari denyut yang semakin melemah pada urat nadi lehermu, dan dari kacaunya irama detak jantungmu. Biar aku ingat-ingat dulu, sebelum pada akhirnya aku sendiri yakin untuk memantraimu: matilah kau, wahai kekasihku.”
Mundur dua puluh enam tahun sebelum kalimat tersebut ia ucapkan, Gusti mengaku pada Usman bahwa Nyai Roro Kidul baru saja memantrainya. Jiwanya telah berumur empat belas. Ia telah dipilih, ia siap menerima Nyai. Usman, kawan karibnya harus menjadi saksi. Usman bertanya-tanya, dipilih untuk apa dan mengapa ia harus menjadi saksi? Tetapi Gusti tak menjawab.
Pikiran Gusti kisruh sendiri, mengkhayalkan betapa hebat kisah luar biasa yang akan segera menghampiri hidupnya. Kisah yang telah lama ia nantikan.
Kisah itu dimulai saat ia berumur tujuh lebih tujuh bulan. Pada suatu malam di penghujung Oktober yang teramat kering, saat orang-orang desa mulai putus asa pada musim. Pengajian demi pengajian diadakan untuk memohon agar Tuhan segera menjatuhkan hujan. Tapi, meski segala bentuk doa telah dipanjatkan dan segala macam pujian telah dilantunkan, hujan tetap enggan datang.
Diam-diam, mereka mulai merapalkan doa kepada yang lain. Kepada pohon beringin terbesar, kepada batu sungai, kepada tebing, kepada bulan, kepada gunung dan kepada lautan. Untuk laut, mereka berdoa kepada Ratu penguasanya, sosok legenda yang disucikan, diagungkan, dikeramatkan sekaligus dihina dan dikutuki oleh masyarakat tanah Jawa selama ribuan tahun.
Mereka, sebagian orang-orang desa yang meyakini keberadaan Nyai Roro Kidul sebagai penguasa laut, percaya bahwa hujan berawal dari lautan yang menguap, lalu disaring oleh dewa langit sebelum akhirnya kembali turun ke bumi dan menjadi air yang sudah tak lagi asin. Maka, berharap kepada Nyai Roro Kidul agar mengizinkan air lautnya naik ke langit adalah solusi supaya bumi kembali basah.
Kabar tentang orang-orang yang berdoa kepada selain Tuhan kemudian sampai di telinga Kiai Mojo, kiai paling berpengaruh di desa itu. Ia mengecam perbuatan warga desa. Segera, ia adakan pengajian akbar di pengujung Oktober, berharap orang-orang desa tak terjerembab makin dalam pada jurang kemusyrikan.
“Manusia-manusia yang berdoa kepada selain Tuhan! Mereka adalah calon-calon penghuni neraka terdalam!” Kiai Mojo menggebu-gebu, selalu begitu disetiap ceramah-ceramahnya.
Gusti adalah salah satu anak dari ratusan anak lain yang dibawa serta oleh orang tua mereka ke pengajian. Pada malam itu lah, untuk pertama kalinya ia mendengar tentang ratu penguasa laut selatan. Gusti mendengarkan Kiai Mojo, tersedot oleh mewahnya kata-kata yang dilontarkan oleh sang Kiai. Tetapi telinga Gusti yang lain juga sibuk. Obrolan antara wanita tua penjual geblek dengan pembelinya tentang sosok legenda yang sedang dikutuki oleh ribuan orang tak kalah menarik baginya. Bisa jadi, Gusti adalah anak yang pikiran dan telinganya paling sibuk malam itu.
“Kiai Mojo hampir jadi tumbal Nyai Roro Kidul waktu masih muda. Dia masuk ke dalam ombak besar seperti orang linglung. Pantas saja Kiai sangat marah,” ungkap penjual geblek.
“Kiai Mojo kelewat sakti. Padahal tidak pernah ada yang berhasil lepas dari cengkraman Nyai Roro Kidul.” Lawan bicara penjual geblek nyatanya lebih tahu. Ia melanjutkan cerita yang panjang soal bagaimana hubungan Kiai Mojo dengan sosok penguasa laut selatan hingga pada akhirnya kiai menjadi orang berpengaruh dan terkenal di seluruh desa seperti sekarang.
Gusti duduk di samping penjual geblek dengan tenang. Memakan gebleknya perlahan agar ia masih memiliki alasan untuk terus mendengar cerita. Sementara ibunya entah pergi ke mana. Lima menit sebelumnya, ibunya memberi Gusti uang lima puluh perak, menyuruhnya membeli geblek, lalu menunggu. Gusti menurut tanpa banyak tanya sebab ia memang tak pernah diperbolehkan bertanya apapun kepada sang Ibu.
Sembari mendengarkan cerita penjual geblek, Gusti memperhatikan sosok Kiai Mojo yang sedang diperhatikan oleh ribuan pasang mata. Penjual geblek berkata bahwa semenjak Kiai Mojo berhasil selamat dari gulungan ombak yang nyaris menahan jiwanya di istana penguasa laut selatan, kesaktian Kiyai Mojo makin terlihat. Ia bisa menyembuhkan segala macam penyakit yang tak bisa disembuhkan oleh dokter, ia bisa mengusir setan yang merasuki tubuh manusia, ia bisa mendatangkan jodoh, ia bisa membuat wanita mandul jadi subur, Ia bisa terbang, bisa menghilang, bisa berada di dua tempat yang berbeda pada satu waktu, dan bahkan bisa membuat hujan turun jika orang-orang mau berdoa bersamanya di lapangan. Kebenaran soal kesaktian Kiai Mojo tentu sulit untuk diverifikasi, tetapi hal itu bukanlah suatu masalah bagi Gusti yang berumur tujuh lebih tujuh bulan. Segalanya terasa benar baginya, sebab cerita-cerita itu keluar dari mulut orang dewasa.
Subuh hari setelah pengajian, hujan turun. Gusti terbangun dari tidurnya. Ia melihat buliran air ramai-ramai menyerang jendelanya, menimbulkan suara berisik. Ia kemudian teringat pada Nyai Roro Kidul. Ia berpikir bahwa Nyai itulah yang sebenarnya membuat Kiai Mojo sakti mandra guna hingga menjadi perhatian ribuan pasang mata. Jika ia ingin memiliki kesaktian dan diperhatikan banyak orang, jadilah seperti Kiai Mojo, jadilah orang yang bisa ditarik masuk ke dalam gelombang besar lautan milik Nyai Roro Kidul lalu muncul kembali dengan gagah berani di permukaan. Tapi untuk bisa melakukannya, ia harus pergi ke tempat di mana penguasa laut itu berada.
Ia beranjak dari tempat tidur. Ketiga kakak perempuannya masih tertidur pulas. Ia tak mau ambil resiko kena pukul dengan membangunkan salah satu dari mereka untuk menanyakan bagaimana ia bisa pergi ke laut selatan, atau meminta salah satu dari mereka untuk mengantarnya bertemu dengan Nyai Roro Kidul. Ia pun memutuskan untuk pergi ke dapur, berharap ibunya sedang merebus air di depan tungku api seperti yang sering ia lihat setiap pagi.
Api di tungku sudah menyala, tetapi ibunya tak ada. Suara dengkur ayahnya begitu keras, mengalahkan suara hujan di luar rumah. Di antara semua orang di rumah itu, Gusti paling takut dengan sang Ayah. Pukulan Ayahnya jauh lebih sakit daripada pukulan milik ibu dan kakak-kakaknya. Memarnya tak hilang hingga berminggu-minggu. Hal itu membuat Gusti selalu ingin menghindari pertemuan dengan sang Ayah.
Ibunya masuk dari luar rumah tak lama setelah Gusti memutuskan untuk menunggu di depan tungku. Rambut ibunya tampak berantakan, tubuhnya basah karena hujan. Bajunya tak terkancing dengan sempurna dan roknya sobek di beberapa bagian. Gusti ingin mengajukan pertanyaan mengapa ibunya hujan-hujanan di subuh hari, tetapi ia segera sadar bahwa ia sudah tak boleh bertanya tentang apapun.
Saat ia memutuskan untuk memberanikan diri mengajukan pertanyaan, pertanyaan itu haruslah pertanyaan yang amat penting baginya sebab resiko yang menyertainya tidaklah enteng. Omelan saja kadang tiduk cukup bagi ibunya, pukulan menjadi solusi praktis agar Gusti cepat diam. Tapi bagi Gusti, ia merasa kata-kata kasar yang keluar dari mulut sang ibu jauh lebih menyakitkan daripada pukulan.