Sesuatu yang aneh pasti telah terjadi. Mana mungkin dua sahabat karib yang tak pernah terpisahkan tiba-tiba menjadi asing dalam semalam. Begitu pikir teman-teman mereka. Perkelahian di dalam bus pada malam itu menyisakan tanda tanya besar bagi semua yang menyaksikannya. Mengapa Usman menonjok Gusti sampai hidung peseknya mengeluarkan darah? Mengapa Usman selalu meludah ketika membicarakan Gusti? Padahal, Gusti telah banyak berubah sejak kejadian kesurupan itu. Ia menjadi lebih lembut saat berbicara, menjadi lebih lucu ketika bercerita dan menjadi lebih ceria. Banyak yang suka dekat-dekat dengannya terutama gadis-gadis sebab Gusti lihai membaur bersama mereka.
Gusti dan Usman berkawan sejak Gusti masuk ke dalam pesantren milik Kiai Mojo pada tahun pertama mereka menjadi murid sekolah menengah pertama. Usman telah lebih dulu berada di sana dan ia menjadi anak pertama yang menyapa Gusti. Tak butuh waktu lama, keduanya menjadi kawan karib.
Obsesinya terhadap Nyai Roro Kidul membuatnya tak menolak ketika sang Ayah memasukannya ke dalam pesantren. Barangkali, pikir Gusti, ia bisa selangkah lebih maju untuk menuju impiannya. Barangkali, pikir sang Ayah, anaknya akan menjadi lebih saleh dan jantan karena di dalam pesantren tak ada akses bagi Gusti untuk bergaul bersama lawan jenis.
Namun kepribadian Gusti membuatnya tak bisa lama berada di dalam pesantren. Ia terlalu suka kebersihan dibandingkan anak-anak biasa, sehingga hal-hal kecil bisa membuatnya marah. Suatu hari, seseorang menjatuhkan remah-remah kerupuk di atas sajadahnya. Gusti mengamuk lalu mencuci sajadahnya hingga tujuh kali seolah sajadah itu kena jilat anjing.
Pada suatu waktu, ia tak mau melepas sandalnya ketika menginjakkan kaki di teras langgar. Ia bilang ayam-ayam peliharaan Nyai (Istri Kiai) gemar buang hajat di teras dan tahi-tahi tersebut tak dibersihkan dengan benar. Gusti bergidik membayangkan ia harus menginjak teras dengan bertelanjang kaki. Akibatnya, betisnya bengkak karena kena hukum pecut sebanyak sembilan puluh sembilan kali.
Belum lagi soal Gusti yang tak mau mandi bersama anak-anak lain. Padahal, mereka tak memiliki waktu untuk saling mengantre ketika mandi terutama pada subuh hari. Ada tiga puluh dua anak di pesantren, sementara kamar mandinya hanya satu. Kamar mandi itu amat besar, berukuran lima kali sepuluh meter persegi dengan kulah atau bak mandi besar di bagian tengahnya. Bak mandi itu mirip seperti kolam renang dengan ukuran 3 kali enam meter dan memiliki kedalaman dua meter.
Puluhan anak berjejal mandi dengan gayung di pinggir-pinggir kulah. Mereka mencuci baju dan berwudu di tempat yang sama. Kiai bilang air itu tetap suci meskipun tak mengalir, sebab debitnya selalu dijaga agar memenuhi standar kesucian. Tapi bagi Gusti, itu tak cukup untuk membuatnya mau mandi berjejal bersama puluhan anak lain. Sesekali ia terpaksa mandi dengan pakaian lengkap. Teman-teman mengejek dengan mengatakan bahwa Gusti mungkin saja mengidap penyakit gudik sehingga ia tak mau melepas pakaiannya saat mandi.
Tak lebih dari satu bulan Gusti bertahan di pesantren. Ia mengancam akan menceburkan diri ke dalam kulah jika ibunya tak segera menjemput. Maka, di hari itu juga, ia dijemput. Bukan oleh sang Ibu, melainkan oleh sang Ayah. Gusti bergetar ketakutan, sebab ia tahu bahwa sang Ayah akan menghajarnya tanpa ampun begitu sampai di rumah.
Pentungan milik sang Ayah yang seharusnya digunakan untuk memukul maling saat lelaki itu bekerja menjadi satpam di pabrik gula justru mendarat di tubuh Gusti. Ia menjerit sejadi-jadinya. Tetapi setelahnya ia lega sebab Ia tak lagi harus mandi berjejal-jejal dan tak harus menginjakkan kaki di lantai bekas tai-tai.
Obsesinya terhadap kebersihan dan keteraturan tak selalu selaras dengan kebanyakan orang. Gusti paling benci dengan tai, dengan debu, dengan tanah liat kering yang menempel di ujung jari, dan dengan segala macam jenis remah-remah yang jatuh di tempat yang tak seharusnya. Tetapi ia menyukai hal-hal yang cenderung dianggap menjijikan oleh orang lain. Menyukai bau kecoak yang seluruh isi perutnya muncrat keluar hanyalah menjadi salah satu contoh.
Permainan kesukaannya saat ia berumur enam tahun adalah mengubur belalang hidup-hidup lalu menangisinya, memberi patok dan menabur bunga pada kuburan kecil itu, lalu ia akan kembali sehari kemudian untuk membongkarnya. Ia penasaran, apakah cacing-cacing sudah mulai menggerogoti tubuh si belalang yang malang.
Ia suka melihat tikus-tikus terjebak di kandang jebakkan yang telah dilumuri lem. Tubuh tikus-tikus akan menggeliat tak berdaya, sorot mata mereka membuatnya merasa jumawa. Gusti kecil merasa seperti Dewa. Dewa kematian yang memiliki kuasa penuh atas nyawa tikus-tikus. Tindakan terakhir setelah ia puas memandangi mata-mata putus asa itu adalah pengampunan. Baginya, tidak ada pengampunan paling sempurna selain kematian. Maka, ia mengambil botol berisi minyak tanah dari gudang. Dituangkannya minyak tanah itu ke seluruh kandang, lalu Blub! Api menyambar setelah ia menyalakan korek. Tikus-tikus menjerit menyambut ajal, sementara Gusti tersenyum. Senyumnya amat manis, hingga dipenghujung kematian, tikus-tikus itu mungkin mengira bahwa Gusti adalah jelmaan malaikat, alih-alih iblis.
Selain ribuan pertanyaan aneh yang ada di kepalanya, prilaku-prilaku aneh membentuk Gusti menjadi anak kecil yang dihindari pada mulanya. Tetapi saat beranjak remaja -terutama saat ia bertemu dengan Usman- ia mulai belajar mengontrol hal-hal yang bisa membuatnya tidak disukai. Obsesinya terhadap Nyai Roro Kidul ia ceritakan kepada Usman, tetapi dengan cara yang baik dan normal. Usman menerima, bahkan merasa bahwa Gusti adalah kawan yang unik, bukan aneh, apalagi ganjil.
Meskipun pada akhirnya, Gusti tak bisa lagi menahan kehausannya akan perhatian. Masa puber membuat hormon dan perasaannya kacau. Perasaan aneh terus muncul ketika ia tengah bersama Usman. Ia merasakan jutaan kupu-kupu mengepak di rongga perutnya tiap kali mereka bersentuhan. Puncaknya terjadi pada malam itu, malam saat mereka kembali dari perjalanan karyawisata, malam saat bus melaju kencang.
Gusti pikir ia bisa menggunakan Nyai Roro Kidul sebagai tameng, tetapi ia salah. Usman memberontak saat ia hendak mencari pembuktian atas perasaannya. Hasilnya, ia pun kena tonjok. Hubungan mereka sebagai kawan telah berakhir, setidaknya bagi Usman. Sebab bagi Gusti, perasaanya terhadap Usman mungkin tidak akan pernah berakhir, karena ia masih belum menemukan jawaban atas keresahannya: Mengapa aku ingin mencium Usman?
Dua minggu setelah karya wisata, Gusti terserang penyakit tipes. Selama lima hari ia terbaring di rumah sakit. Meskipun dokter telah mengatakan bahwa tipes adalah penyebab bocah itu sakit hingga tak mampu mengangkat jari-jarinya, sang Ibu bersikeras membawa anaknya kepada Kiai Mojo untuk dirukiah. Perkataan teman-teman dan guru-guru yang menjenguk soal kesurupan yang dialami oleh Gusti membuat wanita itu lebih percaya bahwa anaknya kena sambet setan daripada kena tipes.
Gusti melanjutkan rangkaian pertunjukannya di depan Kiai Mojo, meskipun Ia tak merasakan apapun saat Kiai membacakan ayat-ayat suci sembari menyembur wajahnya dengan air yang katanya sudah disucikan dengan doa-doa. Gusti menggeliat, mengerang, bahkan menjerit-jerit seolah ia merasakan sakit yang luar biasa. Padahal, satu-satunya tindakan yang membuatnya merasa sakit adalah saat Kiai mencengkram kepalanya dengan sangat kuat hingga ia merasakan pembuluh darah di lapisan kulit kepalanya nyaris pecah.