Perkara setan apa yang menempel di tubuh Gusti tak lagi menjadi soal bagi teman-teman sekolahnya. Baik Nyai Roro Kidul atau setan penunggu toilet sama-sama membuat Gusti menjadi anak yang lebih menyenangkan, terutama bagi para gadis. Satu-satunya yang selalu meludah tiap kali bertemu dan membicarakan Gusti hanya Usman. Dan anak itu memilih untuk memendam alasannya sendiri, setidaknya sampai satu tahun ke depan.
Gusti pandai bernyanyi. Pita suaranya tak terlalu pecah seperti kebanyakan remaja lelaki diusianya, membuat ia bisa mencapai nada-nada tinggi. Kelas menjadi riuh tiap kali ia bernyanyi. Gadis-gadis bertepuk tangan, anak-anak lelaki menyoraki.
Gerakan tubuhnya lincah. Menari menjadi keahlian lain yang ia miliki. Untuk perkara ini, hanya gadis-gadis yang senang. Kebanyakan anak laki-laki mencibir, mereka mengalihkan pandangan karena jijik melihat bokong dan pinggul laki-laki meliuk-liuk seperti biduan dangdut. Mereka berharap melihat tarian perang, tarian pedang, atau paling tidak tarian binatang yang biasa mereka lihat di pertunjukan kuda kepang. Tapi Gusti lebih senang memainkan peran ronggeng daripada perajurit perang.
Kemayunya membawa kebahagiaan ketika ia berada di tengah gadis-gadis, tetapi tidak saat di rumah. “Duh, Gustiii!” teriak sang Ibu. Bibir wanita itu bergetar, hidungnya kembang kempis, ia siap melontarkan rangkaian makian sehabis menyaksikan anak laki-lakinya membawa pulang selendang tari berwarna hijau muda. Gusti mengalungkan selendang itu di lehernya. Di depan cermin, Ia berlatih tari jaipong.
Setelah ia sembuh dari sakit tipes lalu dirukiah tiga hari berturut-turut, ia memutuskan untuk mencari hikmah tersendiri di balik kejadian tersebut. Ia pikir, membalas ibu dengan kata-kata kasar tak asik lagi, tak mempan lagi, tak menyedot perhatian lagi. Melihat Ibunya murka karena ia menggeol-geolkan pinggul di depan cermin ternyata lebih mengasikkan. Maka, tindakan jauh lebih menyenangkan daripada makian, pikirnya.
Sambil terus menari, Gusti berkata pada sang Ibu, “Aku mau menjadi penari.”
Ibunya mengomel tanpa henti mendengar pernyataan Gusti. Ancaman demi ancaman keluar begitu saja. Kutukan demi kutukan tak lagi kena saring dari mulut wanita itu. Anak durhaka, anak setan, banci kaleng, hingga monyet buntung. Tapi Gusti tak lagi sakit hati dengan segala macam makian dan kutukan. Ia malah tersenyum puas. Ia merasa menang.
Hari-hari setelah kepulangannya dari Yogya, setelah ia mengetahui fakta-fakta, setelah ia menjelma menjadi remaja, adalah medan perang baginya dengan sang Ibu. Dua kakak perempuannya berangkat ke Jakarta untuk bekerja di pabrik sepatu. Kakak pertama memilih tinggal di rumah untuk menunggu pinangan yang tak ada satu orang pun tahu kapan hari itu akan datang.
Ayahnya berangkat ke pabrik gula pukul lima subuh dan terkadang pulang hingga tengah malam. Pada hari-hari tertentu, Ayahnya terlihat tidur hingga siang dan berangkat tengah malam. Sementara sang ibu memilih tinggal di rumah saja. Sesekali, ia keluar entah ke mana.
Gusti sedang menikmati hari-harinya menjadi anak populer di sekolah. Untuk sementara, ke mana Ibunya pergi pada waktu-waktu mencurigakan belum menjadi soal baginya. Ia bukan anak bodoh sehingga ia tahu, bertindak sebelum mengetahui betul kelemahan lawan justru akan membawanya ke gerbang kekalahan. Seperti saat ia melawan permaianan kiai Mojo beberapa waktu lalu atau saat ia nekat mengoreksi perasaanya pada Usman.
Gusti belajar dari kesalahan meskipun ia kesulitan mengatur ledakan emosi masa puber. Kemampuan otaknya di atas rata-rata. Jika ia mendapat nilai buruk pada satu pelajaran, bukan karena ia tak bisa memahaminya, melainkan ia tak mau untuk mempelajarinya. Di sekolahnya, Gusti adalah satu-satunya anak yang menyukai seni budaya sekaligus matematika, fisika, dan biologi. Dua keahlian itu cenderung berlawanan, tetapi ia bisa menjadi ahli dikeduanya. Pelajaran yang ia benci ada tiga: kewarganegaraan, olahraga, dan sosiologi.
Kepopulerannya tak meredup hingga ia naik ke kelas sembilan. Tetapi, sama seperti kemampuan otaknya yang berada di atas rata-rata, gejolak hormon masa pubernya pun demikian. Perasaannya pada Usman tak bisa lagi ia tahan. Penghitungan soal kalah menang tak bisa lagi ia raba. Ia sudah berumur lima belas tahun. Tidak seperti tahun lalu, kini Ia sudah tahu betul perasaan apa yang dimilikinya untuk Usman.
Artinya, ia telah siap menanggung kutukan paling kutuk jika ia nekat mengutarakan perasaanya dengan gamblang kepada Usman. Ia akan berusaha maklum, jika Usman nanti meludahinya, Sebab ia sendiri tahu bahwa manusia lain akan menganggap perasaannya sebagai bentuk kecacatan, penyimpangan dan kelainan. Tak hanya Usman, semua orang tentu akan mengutuknya, bahkan mungkin siap memanggangnya di atas bara api hukuman, menggantungnya di tiang gantungan dan merajamnya dengan batu-batu tajam hingga ia sekarat. Ia tahu meskipun tak mau paham.
“Tak masalah jika kau ingin ludahi aku, Man.”
Mereka berdua berada di lorong kecil, lorong yang menjadi satu-satunya jalan untuk menuju toilet dari ruang kelas sembilan A. Lima menit sebelum pertemuan itu, Gusti melihat Usman keluar kelas saat jam pelajaran masih berlangsung. Ia pikir, itulah kesempatannya untuk menemui Usman tanpa gangguan dari teman-teman yang lain. Ia segera membuntuti Usman dan menunggu sebentar di lorong.
Usman meludah ke tanah. Buih air ludahnya menggelembung sebentar sebelum pecah. Ia tak sudi mengeluarkan sepatah kata di depan mantan kawan karibnya. Yang bisa ia lakukan hanya meludah, menatap Gusti dengan tatapan jijik, lalu berbalik meninggalkannya.
“Aku tidak butuh jawaban. Aku hanya ingin kau tahu bagaimana perasaanku sebelum kita lulus, sebelum aku menyesal,” ungkap Gusti lebih nekat. Ia membuntut di belakang Usman.
Usman berhenti dan berbalik, tangannya mengepal erat, siap meninju kapanpun.
“Sebentar lagi kau akan menyesal karena terus menggangguku. Rupanya setan itu tak pernah meninggalkanmu sedikitpun. Kau makhluk yang mengerikan.” Tinjunya tak jadi mendarat. Wajah Gusti selamat, tetapi tidak dengan kehidupan sekolah menengah pertamanya yang tinggal beberapa bulan lagi.
Usman melaporkan Gusti kepada guru agama yang sekaligus merangkap sebagai guru bimbingan koseling, Pak Kamto. Peristiwa di dalam bus yang terjadi setahun lalu pun menjadi terang benderang bagi mereka semua. Gusti hendak melakukan pelecehan. Faktanya, malam itu Usman tak hanya mendengar kalimat menjijikan dari mulut Gusti, tak hanya merasakan bibirnya disentuh dengan cara yang aneh, tetapi juga merasakan kemaluannya ngilu. Dan tangan kiri Gusti lah penyebabnya.
Pelecehan sendiri sudah merupakan suatu tindak kriminal, maka bagi mereka, pelecehan Gusti terhadap Usman adalah tindak kejahatan yang luar biasa, bahkan di luar nalar. Perbuatan Gusti sungguh terkutuk, bejat, amoral dan Ia pasti akan menjadi penghuni neraka paling jahanam di akhirat kelak. Pak Kamto sampai berkata bahwa tak perlu menunggu hukum Tuhan untuk mengadili manusia semacam Gusti.