Jakarta dengan suhu rata-rata tiga puluh tiga derajat celsiusnya membuat tujuh potongan tubuh di dalam koper itu membusuk dengan cepat. Tiap potongannya menggembung, membuat koper membengkak, merenggangkan bagian resleting yang sedari awal tak ditutup dengan sempurna. Belatung pemakan daging terus bergerak-gerak, menyedot cairan protein yang lezat. Mereka menggeliat, menjadi gemuk hingga perutnya siap meledak. Mereka berdesakan, tumpah keluar melalui lubang. Beberapa menculat-culat, menjauhi koper, menikmati kebebasan.
Jakarta dengan udara lembabnya membuat pembusukan tujuh potongan tubuh kian menggila. Bau busuknya menyebar terlalu sempurna, seolah si mati ingin mengabarkan pada dunia bahwa raganya sedang merana, menunggu ditemukan untuk dimakamkan dengan selayaknya. Bahwa ketiadaanya perlu ditangisi dan diratapi oleh siapa pun yang mengenalnya. Bahwa si mati, meskipun tubuhnya telah terpotong menjadi tujuh dan tanpa kepala, ia tetaplah manusia pada awalnya.
Dan Jakarta dengan jutaan penghuninya tentu tak butuh waktu lama untuk menerima pesan dari si mati. Bocah kurus pengumpul rosok adalah penerima pertama. Tapi bukan aroma busuk yang menarik perhatiannya, sebab hidungnya telah kebal dengan segala macam bebauan semacam itu. Baginya, koper besar adalah harta karun terlepas apapun yang akan ia temukan di dalamnya.
Ligas, ia sodok-sodok koper tersebut menggunakan besi pengait yang selalu berada di tangannya. Segerombol belatung jatuh serempak lalu tercecer ke tanah sebelum menculat tak terarah. Bukannya mundur, ia makin tertarik. Sebab belatung bukan ancaman bagi pemulung, sama seperti burung kuntul bagi petani dan lumba-lumba bagi nelayan.
Bocah itu mundur satu langkah sesaat setelah ia mengetahui apa yang ada di dalam sana. Sudut bibirnya naik, sebelah matanya menyipit, dan ia merasakan sesuatu mendesak cairan lambungnya hingga menuju ujung kerongkongan. Ia sering menjumpai bangkai ayam, tikus, kucing sekali-kali bangkai anjing. Semua biasa saja, semuanya tak membuat ia muntah. Tapi kali ini, isi perutnya keluar tak terkendali, bulu kuduknya berdiri. Ia ingin berhenti menatap, tetapi matanya justru kian tajam mengamati tiap detail potongan daging manusia yang menumpuk, berdesakan, menggembung, diserang belatung dan koyak sana sini.
Bocah itu cepat menjauh dari koper untuk menuju siapapun yang bisa ia temui. Pesan si mati harus segera disebarkan. Bangkai manusia bukan seperti bangkai anjing atau tikus yang bisa ia abaikan. Ia takut ketujuh potongan tubuh itu akan berlari-lari dan mengejarnya di alam mimpi jika ia tak segera mengabarkan kepada dunia.
Banyak kendaraan berlalu-lalang, tetapi tak satupun bisa ia hentikan. Semuanya melaju kencang, semua orang punya tujuan. Dan bocah pemulung sungguh sangat tidak menarik perhatian. Lambaian tangannya tak digubris, suaranya tenggelam di tengah berisik kendaraan. Beberapa kali ia menoleh untuk melihat koper hitam. Benda itu tetap di sana, setengah terbuka sehingga baunya kian menyeruak, mengundang lalat-lalat gendut berkumpul untuk bergabung dalam pesta.
Koper hitam berisi potongan daging manusia itu tergeletak begitu saja di bawah pohon kersen. Letaknya menjorok masuk ke dalam halaman sebuah bangunan tua yang nampak kosong. Pagar seng terlihat menutupi separuh halamannya. Bau busuk sering tercium dari arah dalam karena beberapa orang kerap membuang sampah di sana. Peringatan yang di pasang di sisa pagar seng setinggi satu meter sama sekali tak memiliki makna.
Sementara jalan di depannya merupakan jalanan biasa. Kondisinya cukup ramai sebab sebuah kebun binatang terletak tak jauh dari sana. Sembari terus berjalan untuk mencari orang, bocah pemulung mulai berpikir dan menyesal mengapa harus dirinya yang pertama kali melihat mayat tak utuh itu.