Si tukang jagal kena hajar habis-habisan setelah pengungkapan yang mengejutkan. Tak terhitung berapa kali ia mendapat bogem malam itu. Bajunya koyak sana sini, tubuhnya berbau anyir sebab darah segar mengalir dari beberapa bagian tubuh. Sesekali, ia mengerang, pipi atasnya berkedut, tangan dan kakinya tremor seolah tubuhnya tak kuat menahan suhu dingin di bawah titik beku. Padahal, ruang interogasi itu teramat panas dan pengap.
Kedua matanya bengkak sempurna, bibirnya pecah, sela-sela giginya mengeluarkan darah, begitu juga dengan hidung dan mulutnya. Tetapi, ia terus berusaha menaikkan kedua sisi sudut bibirnya. Ia ingin tetap tersenyum. Ia ingin mengejek dan menunjukan pada polisi-polisi itu bahwa meskipun ia tergeletak tak berdaya dan mereka semua dalam keadaan perkasa, situasi tetap berada di dalam kendalinya.
“Asu buntung!” Si tukang jagal diumpat lalu diludahi. Artinya ia berhasil mengejek, sebab mereka semua bereaksi berlebihan karena tersinggung.
Semalaman, ia dibiarkan begitu saja di lantai. Ia sendiri tak tahu apakah dirinya pingsan atau tertidur selama melewati malam penuh penyiksaan sekaligus kepuasan itu. Ia telah bersiap untuk penyiksaan selanjutnya saat mendengar suara pintu dibuka dan langkah kaki mendekat.
“Gerakan jari anda jika anda mendengar suara saya.”
Bukannya jari, ia mencoba menggerakkan daun telinga, sebab jari-jarinya pun terasa amat berat. Dokter mengerti isyarat tersebut. Ia mengerang saat dokter mulai menyentuh luka-lukanya. Ulu hatinya terasa panas dan rusuk-rusuknya seolah mencuat lalu menusuk ke sana ke mari.
“Pindahkan dia ke ruang perawatan jika kalian tak mau jadi tersangka pembunuhan.” Beberapa petugas datang untuk mengangkat tubuh si tukang jagal setelah mendengar penjelasan dokter rutan.
Setelah itu, Si tukang jagal merasa jiwanya ke luar masuk pintu pembatas antara alam sadar dan alam mimpi. Kadang, ia mendengar suara-suara yang tak ada wujudnya, tubuhnya menjadi seringan balon dan kepalanya terasa ditindih batu sebesar kepala manusia.
Saat suara-suara itu memudar, balon telah meletus dan batu sudah menggelinding dari kepalanya, ia mulai melihat cahaya. Jari-jarinya tak lagi kaku dan bibirnya tak lagi terasa perih. Ia pikir, pagi berikutnya telah datang. Ia pikir, hanya semalam ia terbaring di tempat itu. Tapi nyatanya, tiga hari sudah berlalu sejak ia mendengar suara dokter lapas yang menyuruhnya untuk menggerakan jari-jari.
Selama tiga hari ia tertidur, pingsan atau mungkin koma -tak ada yang tau persis sebab ia diperiksa dengan sembarangan- alam bawah sadarnya berlarian, bertubrukan lalu pecah menjadi keping-keping ingatan yang tak berurutan. Sekali waktu, ia berada di dalam ingatannya saat ia berusia tujuh lebih tujuh bulan, di waktu yang lain, ia sedang mengaji bersama Usman di hadapan Kiai Mojo, dan di waktu yang lain lagi, ia berada di bawah pohon manggis, meringis-ringis menahan sakit setelah tawon gung menyengat pipinya. Rasa sakit yang akrab itu kemudian menuntunnya pada peristiwa ketika sang Ibu menamparnya dengan amat keras hingga telinganya berdenging. Lalu, dengingan telinga itu melemparkannya ke sebuah peristiwa perkelahian sengit yang terjadi di kamar mandi terbengkalai jauh di belakang rumahnya. Telinganya dihantam dengan sebuah balok kayu, tapi ia tidak tumbang.
Sekejap, ia berhasil merebut balok kayu dari tangan lawan. Tenaganya tak banyak tersisa, tetapi amarahnya makin menggunung. Amarah itu membuat sang lawan tumbang dengan darah segar mengalir dari telinga dan hidung. Ia terus memukul hingga wajah lawan hancur. Sebagai penutup, ia jatuhkan sebuah batu berukuran tiga kali bola voli tepat di bagian wajah. Sesaat setelah kejatuhan batu, tubuh lawannya bergerak seperti terkena puluhan ribuan volt aliran listrik: Spontan, cepat, mengagetkan lalu diam. Mati.
Ingatan soal perkelahian sengit itu menjadi penutup rangkaian ingatan yang menari-nari dan tabrak menabrak tak terkendali. Rasa sakit si lawan seolah berbalik menyerang tubuhnya, mengantarkannya kembali pada alam sadar. Rasa sakit itu kemudian menjadi penanda bagi dirinya sendiri bahwa ia masih hidup. Ia masih bernapas dan hari-hari penuh ketenaran akan menyambutnya dengan riang gembira. Bibirnya pun kembali menyunggingkan senyum, tapi kali ini ia tak kena hajar petugas, ia hanya kena umpat. “Masih hidup rupanya kon, setan.”
Hari berikutnya, ia bisa membuka matanya dengan sempurna meskipun wajahnya masih bengkak. Setelah mendapat beberapa suntikan dan dokter mengatakan bahwa kondisinya sudah jauh lebih baik, ia kembali digelandang ke ruang interogasi.
“Bagaimana keadaan anda, saudara Gusti?” Ia hendak menjawab, tetapi si petugas tak memberinya kesepatan. “Anda paham, kan? Jawaban anda tak terlalu penting. Saya telah mengantongi semua fakta-fakta kejahatan anda. Jangan coba-coba mengeluarkan kebohongan karena saya pasti tahu.”
Pernyataan petugas senior itu terdengar begitu klise bagi Gusti, sebab pernyataan tersebut justru menandakan bahwa sesungguhnya mereka tak tahu apa-apa soal dirinya. Ia nyaris tertawa, untungnya ia mulai bisa menakar kapan ia harus berhenti bermain-main. Nyawanya bisa saja melayang selama proses interogasi jika ia terus mengejek mereka. Ia tahu bahwa apapun bisa dimanipulasi dan siapapun bisa dibunuh di ruang interogasi.
“Maafkan kelancangan saya. Saya tidak bermaksud membohongi anda semua. Saya pikir, mengungkapkan kebenaran di depan publik adalah hal yang benar. Saya takut tidak bisa menemukan keberanian itu lagi jika melewatkan kesempatan. Oleh sebab itu, secara spontan, saya berkata demikian dihadapan para wartawan. Maafkan saya.”