Tiga hari semenjak konferensi pers, media tak kunjung menerima kabar apapun mengenai kondisi Gusti. Tapi wartawan-wartawan itu tentu mustahil untuk berpangku tangan menunggu santunan informasi dari kepolisian. Pergerakan mereka selalu jauh lebih cepat dari polisi bahkan detektif sekalipun.
Tak terhitung lagi banyaknya informasi yang telah mereka kantongi selama tiga hari tersebut. Latar belakang Gusti menjadi sajian lezat di meja-meja berita. Spekulasi-spekulasi liar berkembang tak terkendali. Soal misteri dibalik pernyataan kontroversialnya pada konferensi pers, soal senyumnya, soal orientasi seksualnya, soal korban-korban lain yang mungkin saja akan segera dikuak oleh kepolisian, soal motifnya melakukan mutilasi, soal identitas korban yang ditemukan di dalam koper serta latar belakangnya yang terbilang tak biasa.
Semasa hidupnya, mayat di dalam koper yang ditemukan di bawah pohon kersen itu dipanggil Papa Lukas. Ia seorang pemilik perusahaan manufaktur. Usianya akan genap empat puluh lima pada akhir bulan jika saja Gusti tak memotong tubuhnya menjadi tujuh bagian. Kepalanya ditemukan terbungkus plastik hitam, tergeletak di selokan macet penuh sampah tak jauh dari pohon kersen.
Papa Lukas dikenal sebagai orang yang dermawan. Tujuh anak angkatnya hidup sejahtera berkat dukungannya -terutama dukungan finansial- yang tak pernah putus. Kesenangannya semasa muda adalah film, tetapi dunia semacam itu sungguh haram bagi keluarga pengusaha seperti keluarga Papa Lukas. Ayahnya tak suka anaknya melenceng dari kebiasaan keluarga. Ia adalah anak satu-satunya, maka tak mungkin baginya untuk terus melangkah menjauhi bisnis keluarga demi menjadi seorang sutradara.
Ia tanggalkan mimpinya bahkan sebelum ia memulai apapun. Sebagai gantinya, ia gemar memberi sponsor kepada siapapun yang datang dan membawa seberkas impian yang dulu pernah menjadi impiannya juga. Film.
Sepeninggal Ayahnya yang mati mendadak karena serangan jantung, Papa Lukas kemudian mulai berani mendirikan yayasan. Ia menyebutnya yayasan sebab tak pernah sekalipun ia memikirkan soal untung rugi di sana. Yayasan itu menaungi pekerja-pekerja kreatif serta melindungi hasil produknya. Tentu dunia perfilm-an menjadi fokus utama Papa Lukas.
Lima dari tujuh anak angkatnya ia temukan saat bergaul dengan orang-orang dari industri tersebut. Semua anaknya adalah laki-laki dengan rentang usia tujuh belas sampai tiga puluh tahun. Sebab Papa Lukas tak mengangkat anak ketika usia mereka masih di bawah tujuh belas tahun. Karir anak-anaknya sungguh cemerlang: bintang film, sutradara, penyanyi hingga produser. Bahkan dua diantaranya sedang bersekolah di Moskow untuk mendapatkan gelar magister seni.
Sayangnya, tak ada satupun dari ketujuh anak angkatnya itu yang disukai oleh Ayah Papa Lukas. Papa Lukas juga telah lama memutuskan untuk tak menikah meskipun ia telah mengangkat anak sebanyak tujuh kepala. Lagi, keputusannya itu membuat sang Ayah amat kecewa.
Ia sempat berpikir, mungkinkah strok yang menyerang Ayahnya merupakan hasil dari tumpukan kekecewaan yang berakar dari cara-cara hidupnya yang selalu bertentangan dengan sang Ayah? Tentu ia merelakan mimpinya menjadi sutradara demi perusahaan yang sangat berharga bagi Ayahnya, tetapi selepas itu, ia hidup sesukanya, dengan caranya sendiri, dengan standar moralnya sendiri.
Meskipun reputasinya buruk dan hancur di hadapan keluarga terutama sang Ayah. Ia tetaplah sosok dermawan di luar. Tak ada kata lain selain dermawan untuk menggambarkan Papa Lukas di dalam lingkaran dunia hiburan Ibu kota.
Namun kedermawanan serta dunia hiburan itulah yang pada akhirnya membawa ia pada kematian yang terlalu cepat. Sama seperti sang Ayah, Papa Lukas mati di usia yang cukup muda. Ia pikir ia akan hidup paling tidak tiga puluh tahun lagi. Ia pikir, ia akan mati di atas ranjangnya yang hangat dan empuk setelah ia puas menjalani kehidupannya yang dipenuhi dengan pertentangan. Tapi keingingannya soal kematian sama seperti impiannya pada dunia film. Hancur lebur berserakan.
Sesaat setelah ia menyadari bahwa kehidupaannya akan segera berakhir di tangan seseorang yang baru sebulan ia temui, Papa Lukas teringat pada sang Ayah. Ia pernah membaca sepenggal kalimat di dalam sebuah buku yang ia sendiri tak pernah menyangka bahwa kalimat tersebut akan merasuk ke dalam benaknya pada detik-detik kematiannya.
Di ujung kehidupannya, manusia akan memikirkan seseorang yang paling mereka cintai atau seseorang yang paling mereka benci. Dan wajah sang Ayah menjadi yang paling jelas di dalam ingatan Papa Lukas, sebagai manusia yang paling ia benci sekaligus paling ia cintai.