Orang-Orang Yang Kubunuh

Magnific Studio
Chapter #8

Fiksi

Mayat tak bisa bicara, maka dokter forensik hadir sebagai juru bicara mereka. Berkas hasil otopsi Papa Lukas dibuka. Rasa sakit yang ia rasakan di ujung kehidupannya mulai tersampaikan kepada manusia lain. Pemakamannya dipenuhi tangis dan rasa iba. Onggok tubuhnya terkunci rapat di dalam peti yang megah seolah tubuh itu tak pernah sekalipun tergores semasa hidupnya.

Kepada media, dokter forensik bicara bahwa apa yang dialami oleh tubuh Papa Lukas jauh berbeda dari tubuh-tubuh korban pembunuhan dan mutilasi pada umumnya. Pembunuh sengaja menggunakan pisau tumpul untuk meninggalkan rasa sakit yang luar biasa pada Papa Lukas. Penyerangan brutal pada bagian wajah menunjukkan bahwa si pembunuh sangat membenci korbannya. Tak ditemukan jejak perlawanan apapun pada tubuhnya, hal tersebut menegaskan bahwa ia diserang secara tiba-tiba dan ia dalam kondisi sepenuhnya percaya pada si pembunuh. Pemotongan tubuh itu dilakukan dengan tidak terburu-buru. Luapan emosional pembunuh terlihat jelas di setiap sayatan di permukaan tubuh Papa Lucas.

“Pelaku menikmati kegiatannya,” terang dokter forensik pada keterangan penutup. Wartawan riuh, berebut kesempatan untuk mengajukan pertanyaan.

Juru bicara kepolisian mengambil alih setelah beberapa pertanyaan dijawab oleh dokter forensik. Simpulan dari jawaban-jawaban itu muncul sebagai Headline News dalam berita-berita pada hari-hari ke depan. Simpulan bahwa Gusti, pelaku pembunuhan Papa Lukas bukanlah seorang pembunuh biasa. Ia seorang psikopat.

Headline News lain kemudian muncul setelah kepolisian merilis pernyataan soal kasus salah tangkap yang terjadi di kampung halaman Gusti, kasus pembunuhan seorang pengusaha Gym: Hendin. Faktanya, Gusti adalah sang pelaku dan tiga pelaku yang telah divonis dan dijebloskan ke dalam penjara hanyalah hasil dari ketergesaan kerja kepolisian.

Sejauh ini, Polisi tak memberi keterangan lebih lanjut soal keberadaan korban lain yang jumlahnya mungkin lebih banyak. Polisi masih sangat berhati-hati. Setidaknya mereka banyak belajar dari kesalahan sebelumnya. Mereka tak buru-buru mengatakan pada media bahwa Gusti telah mengaku menuliskan detail-detail pembunuhan yang pernah ia lakukan pada sebuah novel yang beberapa bulan terakhir telah beredar dan dibaca oleh ratusan ribu orang.

Hingga tak lama kemudian, mereka mendapatkan telepon dari tiga orang yang mengaku telah lama kehilangan anggota keluarga mereka. Orang-orang itu berasal dari kampung halaman si tukang jagal.

Anak buah Herman tergopoh-gopoh menuju ruangan atasannya. Di hadapan Herman, ia menyodorkan sebuah novel bersampul merah berjudul 'Orang-Orang Yang Kubunuh'.

“Sembilan orang!” serunya.

Herman membolak-balik buku tersebut, membaca sekilas blurbnya lalu membaca biografi penulisnya dengan seksama. Tak banyak informasi di sana, hanya sebuah nama serta sepenggal kalimat, ‘Bathara Yama gemar melahirkan sukacita melalui ujung kematian tokoh-tokoh dalam karyanya’.

“Sudah kau hubungi penerbitnya?” Herman melempar buku tersebut tanpa membaca bagian dalamnya. Ia tak suka fiksi. Buku-buku metodologi, ensiklopedi, dan hukum lah yang berjejal di rak bukunya.

“Sudah, Ndan! Sebaiknya kita segera menemui mereka.”

Herman melirik bawahannya. “Kau sungguh percaya ucapan orang gila itu?” Ia bangkit dari kursinya, meraih asbak yang tergeletak di jendela sebelum kemudian menyalakan sebatang rokok. Ia senang merokok sembari menonton kesibukan orang-orang di luar ruang kerjanya. Menebak-nebak rahasia apa yang sekiranya disimpan oleh tiap-tiap orang yang ia perhatikan.

Anak buahnya tak berani menjawab. Pemuda itu baru enam bulan bekerja bersama Herman. Umurnya masih sangat muda, pengalamannya tak sebanding dengan Herman. Buku-buku fiksi kriminal adalah salah satu faktor pendorongnya untuk masuk ke dalam badan reserse kriminal, sementara bagi Herman, buku-buku semacam itu justru merusak realita pekerjaanya.

“Apa yang dikatakan oleh penerbit?” Herman mengajukan pertanyaan lain.

Lihat selengkapnya