Orang-Orang Yang Kubunuh

Magnific Studio
Chapter #9

Terpingkal

Gusti telah sepenuhnya pulih dan kembali ke ruang tahanan. Saat hari pertama penahanan, ia ingat ada tiga orang lainnya di dalam sel. Tapi saat ia kembali dari ruang perawatan, hanya tinggal satu orang.

“Besok adalah hari putusan.” Pria muda berumur dua puluhan menjawab pertanyaan Gusti soal sampai kapan ia akan berada di dalam sel tersebut.

“Apa yang sudah kau lakukan di luar sana?”

Pria muda itu tersenyum canggung, menggoyang-goyangkan kakinya, menggaruk-garuk kepala, dan mulutnya berkecap-kecap. Gusti amat pandai menghadapi manusia sejenis pemuda di depannya. Penjahat anyaran, kelas teri, nekat, sok jago pada awalnya, tapi ciut saat dihadapkan dengan konsekuensi atas perbuatannya. Kuku-kuku si pemuda nampak panjang, hitam dipenuhi kotoran daki sebab ia sering sekali menggaruk tubuhnya sana-sini. Gusti melirik sinis melihat semua kotoran tersebut.

“Berapa tahun kau dituntut?” tanya Gusti lagi.

Goyangan kaki si pemuda makin cepat, “Dua puluh tahun.”

“Membunuh?”

“Tak sengaja.”

Gusti tertawa, “Bagaimana bisa tak sengaja membunuh?”

“Mabuk.”

“Kau tusuk teman mabukmu yang lain?”

Si Pemuda menggeleng, kini ia menggaruk-garuk telinga. Kulit-kulit mati yang mengering di daun telinga berjatuhan di pundak. Gusti menjadi amat terganggu dan jijik. Ia benci segala macam remah-remah termasuk remah kulit manusia.

“Tidak, kami terlibat kecelakan lalu dia mati.”

“Ah.” Gusti sudah sepenuhnya paham dengan situasi lawan bicaranya. “Seharusnya tak sampai dua puluh tahun,” lanjutnya membela.

Si pemuda kembali cengar-cengir, tetapi matanya memancarkan banyak sekali kekhawatiran. Ia tak tahu ekspresi mana yang seharusnya ia gunakan untuk situasi semacam itu. Gusti yakin bahwa sikap si pemuda telah memengaruhi pandangan orang-orang termasuk jaksa penuntut, hingga ia berakhir dituntut hukuman hingga dua puluh tahun penjara. 

“Ya. Dialah yang membawa motor dan menabrak anak bersepeda hingga mati.”

“Tunggu, jadi ada berapa orang yang mati?” Gusti penasaran.

“Dua.”

“Kau hidup, maka dari itu kaulah penjahatnya. Andai saja kau yang mati, maka temanmu lah si penjahatnya.”

Pemuda itu tak merespon lagi. Ia berbalik memunggungi Gusti. Tangannya terus menggaruk sana-sini, membuat Gusti makin jijik sebab remah-remah kulit mati si pemuda mulai beterbangan, jatuh ke lantai. Kini, sama seperti jaksa penuntut umum, Gusti ingin pemuda itu cepat-cepat divonis supaya lekas dipindahkan ke lapas dan enyah dari pandangan matanya. Namun, dua orang tahanan lain kemudian datang sebelum pemuda bergudik itu pergi. Keduanya berumur lebih tua dari Gusti, dan penampilan keduanya jauh lebih berantakan dari si pemuda.

 Gusti tak bertanya apapun kepada dua tahanan itu, sebaliknya, merekalah yang begitu ingin tahu soal Gusti dan juga si pemuda gudik. Gusti memilih jawaban paling cepat supaya orang-orang itu bungkam. Ia sendiri tak memiliki ketertarikan apapun tentang mereka. Gusti bisa menjadi orang yang sangat supel di sekitar orang-orang yang ingin ia dekati dan ingin ia manfaatkan, tetapi jika ia tak berminat, ia bisa menjadi manusia paling dingin dan tak mungkin untuk disentuh.

 “Aku bunuh sebelas orang. Dua diantaranya kupotong-potong supaya mudah dibuang.”

 Mendengar jawaban Gusti, pemuda gudik berhenti menggoyangkan kaki, berhenti menggaruk, berhenti berkedip-kedip, apalagi cengar-cengir. Sementara dua orang baru itu tak berkomentar. Mereka memilih berbaring, pura-pura kepanasan dan kelelahan. Kompak, ketiganya -termasuk pemuda gudik- kemudian berbalik memunggungi Gusti.

 Beruntung, seorang petugas datang dan membuka pintu sel. “Saudara Gusti, ikut saya!” perintahnya.

Tiga orang yang ditinggalkan di dalam sel bernapas lega. Ketiganya saling tatap begitu pembunuh berdarah dingin itu pergi. Tanpa diskusi, ketiganya telah sepakat bahwa Gusti bukanlah golongan penjahat seperti mereka. Sebab membunuh sebelas orang dan memotong-motong tubuh manusia tetap lah perkara tak biasa, bahkan bagi narapidana sekalipun.

Lihat selengkapnya