Orang-Orang Yang Kubunuh

Magnific Studio
Chapter #10

Hendin


 Cahaya bulan separuh menyinari ladang tebu ketika Gusti menggali liang kubur untuk Hendin. Daun-daun tebu saling bergesekan akibat digoyang-goyang angin. Suaranya gemerisik, menenggelamkan suara cangkul yang menabrak-nabrak tanah. Tak terdengar srigala melolong-lolong seperti pada film-film noire. Serangga- serangga enggan bernyanyi sebab mereka merasakan kehadiran manusia yang begitu mengusik.

 Energi negatif dari tubuh Hendin yang tak lagi bernyawa membuat tanah, udara, angin, bahkan bulan yang berjarak ratusan ribu kilometer menjadi durja. Apalagi, kematiannya sungguh tak biasa.

Gusti gemar mengerjai malaikat maut. Malaikat itu terpaksa datang pada manusia-manusia yang mendadak muncul di dalam daftar buku kematian akibat ulah manusia lain yang bernama Gusti. Membayangkan malaikat maut kalang kabut di alam baka karena alarm kematian yang tiba-tiba saja menyala, membuat Gusti begitu gembira. Ia percaya, bahwa dirinya merupakan jelmaan Bathara Yama: Dewa kematian dalam mitologi Jawa kuno yang bisa memerintah malaikat maut untuk datang kapan saja.

 Hendin mati lima jam sebelum Gusti menggali tanah di tengah kebun tebu di bawah cahaya bulan separuh. Kepala pemilik pusat kebugaran itu pecah setelah Gusti memukulnya dengan piringan besi pemberat barbel. Hendin tak langsung mati, ia dipukul sebanyak tiga kali hingga tubuhnya benar-benar diam, tak bergeliat lagi.

 Rencana Gusti tak selalu panjang ketika ia memutuskan mendatangkan malaikat maut untuk mencabut nyawa seseorang. Kadang bertahun-tahun seperti saat ia berencana membunuh Papa Lucas. Kadang hanya lima menit seperti saat ia membunuh Hendin. Sebab enam menit sebelum ia memecah kelapa Hendin. Ia sama sekali tak berniat melakukannya

 Hanya butuh lima menit untuk Gusti membuat rencana di kepalanya, rencana menyusun kematian seperti apa yang hendak ia hadirkan untuk Hendin. Tak ada rasa tersinggung, kecewa atau dendam pada rencana tersebut. Alasan mengapa ia merasa Hendin harus mati muncul ketika lelaki itu mengungkapkan sebuah informasi kepada Gusti.

“Sampaikan pada ibumu kalau aku mau.”

“Mau apa?” tanya Gusti.

Hendin menelisik. Gusti nampak tak tahu apapun soal ibunya yang berniat menjual tanah pekarangan di belakang rumah mereka. “Kau tak tahu? Aku kira kau pulang untuk mengurusnya.”

“Untuk apa kamu membelinya?”

“Aku ingin membuat kolam renang. Aku butuh lahan yang luas.”

Usaha Hendin mulai berkembang di daerah kecil itu. Putrinya menggemari olahraga renang dan cita-cita putri kecilnya itu adalah menjadi atlet renang. Hendin merupakan mantan atlet angkat besi. Ia berjaya pada masa mudanya. Menjadi atlet angkat besi telah memberinya uang yang cukup, tetapi apa yang ia tanggung kemudian sungguh tak sepadan. Hendin terpaksa pensiun dini sebab beroknya turun. Jangankan barbel, menggendong putrinya saja ia sudah tak sanggup.

Hendin menggunakan uang pensiun serta bonus yang ia dapat dari pertandingan terakhirnya yang gemilang untuk membangun pusat kebugaran. Di pusat kebugarannya itulah, takdir kemudian mempertemukannya dengan Gusti. Pertemuan pertama mereka berlangsung biasa saja. Kebetulan, ia sedang berada di kampung saat sang Ibu menyuruhnya untuk datang ke acara syukuran pembukaan pusat kebugaran milik Hendin. “Keluarganya masih tersangkut keluarga dengan kita, datanglah untuk mewakiliku,” ungkap sang Ibu. Sesuai perintah Ibunya, Gusti datang, memberi selamat dan menerima banyak kupon diskon. Kupon-kupon itu membuatnya rutin datang untuk berolahraga tiap kali ia pulang kampung.

Lihat selengkapnya