Herman menengadah ke langit, berbeda dengan langit Jakarta yang suram, langit Sidoarjo berwarna biru muda. Ia menyayangkan, tak seharusnya hari yang amat cerah seperti itu dinodai dengan apa yang akan segera mereka lakukan: Penggalian. Ia masih berharap tak akan menemukan satu kerangkapun di bawah kakinya atau setidaknya langit akan berubah menjadi suram.
Lepas menyesali warna langit, ia menyesali situasi di sekelilingnya. Warga berjubel sejak pagi di sekitar rumah tukang jagal. Puluhan wartawan berkemah di luar pagar sejak subuh. Beberapa dari mereka bahkan mulai berlalu-lalang di kampung halaman Gusti semenjak si tukang jagal itu mengeluarkan pernyataan mengejutkan pada konferensi pers.
Herman menatap rumah tua milik keluarga Gusti. Rumah itu cukup besar. Keseluruhan dindingnya sudah ditembok. Catnya berwarna putih tulang dan warna di tembok bagian bawahnya banyak mengelupas. Rumah itu dikelilingi pagar batu bata setinggi satu setengah meter. Halamannya luas dengan beberapa pohon yang tak terurus. Rumput di halamannya tinggi-tinggi seolah tak pernah ada lagi manusia yang menginjakkan kaki di sana.
Berdasarkan keterangan Kasmini yang datang ke Rutan kemarin, rumah keluarganya itu sudah jarang ditinggali. Hanya anak bungsunya, Gusti, yang masih menginap di sana tiap kali ia pulang ke kampung halaman. Kasmini menghabiskan masa tuanya bersama Sosi, anak sulungnya dari suami pertama. Sementara Wage meninggal ketika dunia diserang oleh virus mematikan pada 2020.
Kakak perempuan tertua Gusti pergi ke Malaysia. Ia menjadi asisten rumah tangga setelah diceraikan oleh suaminya, Kamto. Wanita itu harus merelakan ketiga anaknya diasuh oleh sang mantan mertua sebab Kasmini, ibu kandungnya sudah tak mungkin lagi untuk dititipi tiga anak. Dua kakak perempuan Gusti yang lain telah lama menetap di Jakarta dan tak tertarik untuk pulang ke kampung walau sekadar untuk menengok sang Ibu. Mereka makin menyembunyikan diri semenjak adik bungsu mereka ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan.
Herman mulai melangkah menuju pekarangan kosong di bagian belakang rumah tersebut. Matanya kemudian tertuju pada kerumunan di bawah pohon mangga di samping rumah. Beberapa orang nampak berkumpul terpisah dari warga. Polisi mengizinkan mereka untuk masuk ke dalam pagar, tetapi melarang mereka untuk mendekati wilayah pekarangan. Wajah-wajah di bawah pohon mangga itu nampak suram.
“Siapa mereka?” tanyanya pada Riko.
“Orang-orang yang melaporkan kehilangan atas anggota keluarga mereka.”
Herman berhenti melangkah. Ia memperhatikan tiap-tiap wajah di sana. Selain suram, wajah-wajah itu tampak hampa. Ia kembali melangkah setelah menyadari bahwa ia tak bisa melakukan apapun untuk mereka kecuali bekerja secepat-cepatnya agar kepastian dan kebenaran segera menemukan jalannya.
Wartawan menyerbu Herman begitu lelaki itu mendekati garis kuning yang mengelilingi pekarangan seluas satu setengah hektar. Tapi ia menolak diwawancara kecuali saat konferensi pers. Untuk menghindari kegigihan wartawan yang terus mendesaknya, Herman mengumpulkan seluruh tim. Arahan kedua sebelum proses penggalian pun di mulai.
Arahan pertama sudah dilakukan di Jakarta kemarin. Mereka memetakan wilayah-wilayah yang diduga menjadi lokasi kuburan korban-korban Gusti. Meski tak suka dan tak nyaman, pada akhirnya, Herman menggunakan novel bersampul merah itu sebagai petunjuk, selain keterangan dari si tukang jagal sendiri.
Tak ada yang tahu pasti ada berapa mayat yang terpendam di dalam sana. Gusti sendiri sempat ragu dengan jumlah yang ia berikan kepada Herman.”Sembilan yang saya tulis karena saya ingat betul dengan mereka. Tapi mungkin bisa lebih.” Keraguan yang membuat Herman jengkel luar biasa.
Penggalian dimulai pukul sembilan pagi. Puluhan petugas, tetua kampung, perwakilan aparat desa, anjing pelacak hingga pemuda pancasila turut dalam pangggalian. Mereka memutuskan untuk menyisir semua area meskipun Gusti telah menggambarkan lokasi detailnya.
Anjing-anjing pelacak menyalak setelah tiga puluh menit dilepas dan dibiarkan mengendus sesukanya. Lokasi pertama yang membuat satu anjing menyalak adalah area di dekat kamar mandi terbengkalai. Kamar mandi itu terletak tiga ratus meter dari gudang yang pintunya tak lagi utuh. Jejak-jejak kebakaran nampak disekitar jalosinnya.
Penggalian pada lokasi pertama belum usia ketika tiga anjing pelacak lain menyalak tak terkendali di bawah rimbunan pohon bambu yang gelap dan dingin. Riko berlari untuk menenangkan anjing tersebut, di belakangnya, beberapa orang menyusul untuk melaksakan perintah Herman, “Gali!”