Bulan-bulan terakhirnya sebagai siswa sekolah menengah pertama telah kacau. Ia tak lagi menjadi idola. Caci maki bahkan tak lagi ia dapatkan, ia dijauhi. Pelecehan, penyimpangan, dan percobaan pembunuhan terhadap ibunya sendiri telah membuat reputasinya hancur total. Setan toilet kembali dibicarakan, tetapi bukan perhatian yang Gusti dapatkan, melainkan pengucilan.
Ia tak lagi diterima di sanggar tari, tak lagi didengarkan ketika bercerita, tak lagi disoraki ketika bernyanyi. Lebih parah dari semua itu, ia sama sekali tak dianggap ada. Kursinya dipindah ke pojok, anak-anak yang semula mencacinya tak mau lagi membuka mulut mereka. Usman tak sudi lagi untuk meludah, apalagi menatap wajahnya. Guru-guru tak mau lagi menyebut namanya dan melewatkannya begitu saja ketika mereka mengabsen. Satu-satunya orang yang masih menganggap keberadaan Gusti hanyalah sang kepala sekolah. Kepala sekolah itu baru menjabat selama satu bulan, menggantikan kepala sekolah lama yang memilih pensiun dini karena melahirkan bayi kembar.
Gusti sendiri tak bisa lagi membedakan antara keberuntungan dan kesialan pada situasinya itu. Ia selamat karena bisa melanjutkan sekolah hingga hari terakhir ujian, tetapi fakta bahwa Pak Kamto lah yang memberinya kesempatan, membuatnya jengkel setengah mati. Pak Kamto berhasil menjadi kepala sekolah sebab ia lah guru paling menonjol, aktif dan dianggap paling bijak diantara yang lain. Padahal, lelaki itu sungguh amoral di mata Gusti. Ia makin melaknat situasi yang terjadi ketika pada akhirnya Pak Kamto justru menjadi kakak iparnya sendiri
Situasi kacau tersebut membuat Gusti sensitif. Di sekolah ia menjadi pendiam sebab ia tak mau dipermalukan jika ia bereaksi atas pengucilannya. Ia tak mau Usman melihatnya semakin berantakan. Akibatnya, Gusti menjadi meledak-ledak di rumah. Dengan sang Ibu, ia melawan terang-terangan. Ia sudah menusukkan pisau ke perut yang pernah menjadi tempat tinggalnya selama sembilan bulan itu, apa lagi yang ia takuti? Sementara kepada sang Ayah, ia berani mencaci dan membalas setiap pukulan yang ia dapatkan.
Sebagaimana orang tua, Wage dan Kasmini tentu khawatir melihat tabiat Gusti yang makin tak terkendali. Terlepas betapa sibuknya mereka dengan urusan ego masing-masing, naluri orang tua tetap ada dan akan terus ada pada mereka, meskipun naluri itu kian tumpul, setumpul pisau berkarat yang mendarat di perut Kasmini.
Saat Kiai bilang tak sanggup lagi menghadapi kebengalan bocah itu -lebih tepatnya tak mau lagi- mereka memutuskan untuk membawanya ke Banyuwangi, kampung halaman si Munir, tetangga mereka yang kenal dengan banyak dukun. Mereka membawanya diam-diam, sebab tak ingin dicap sebagai manusia musyrik oleh orang-orang, terutama oleh kiai dan oleh Pak Kamto, menantu mereka sendiri.
Lepas kejadian penusukan siang itu, Yuli, kakak pertama Gusti menjadi kian dekat dengan Pak Kamto. Tanpa tahu apapun soal hubungan gelap antara istrinya dengan kepala sekolah itu, Wage dengan senang hati menerima lamaran Pak Kamto terhadap putri sulungnya. Ia sama sekali tak mempermasalahkan status duda beranak satu calon mantunya, sebab ia sendiri tahu rasanya bagaimana mencintai seseorang dengan masa lalu yang demikian. Umur juga tak menjadi masalah baginya, selama sang putri juga tak mempermasalahkannya. Umur Pak Kamto berjumlah dua kali lipat dari umur Yuli, yaitu empat puluh empat tahun. Dan calon anak tiri Yuli hanya terpaut dua tahun lebih muda darinya.
Semua itu tak menjadi soal, terlebih Pak Kamto adalah seorang pegawai negeri sipil sekaligus kepala sekolah. Sesungguhnya, status inilah yang menjadi penggugur semua kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh lelaki itu di mata Wage. Sementara Kasmini tak banyak berkomentar. Nalurinya menjerit. Ada rasa cemburu, rasa iba terhadap putri sulungnya, sekaligus rasa marah terhadap situasi yang sedang berjalan. Sebentar-sebentar, Kasmini menghela napas ketika menyaksikan Pak Kamto mengucapkan akad nikah. Wajahnya ditekuk sepanjang hari selama ia duduk menjadi pendamping sang putri di pelaminan.
Rasa iba Kasmini terhadap sang putri hanya bertahan sebentar saja sebab cemburu dan birahi liarnya sungguh berada di luar batas. Moral, pengetahuan agama serta statusnya sebagai seorang ibu sama sekali tak bisa mencegahnya untuk melakukan perbuatan amoral dengan menantunya sendiri di kemudian hari. Tak lebih dari enam bulan setelah pernikahan putrinya, Kasmini tak bisa lagi menahan hasrat bejatnya. Ia menyerah pada bisikan setan. Begitulah ia yang selalu mengkambinghitamkan setan pada setiap perbuatan amoralnya.
Setan pula lah yang selalu ia anggap sebagai biang kerok sifat buruk bungsunya, sehingga ketika si Munir menyarankan untuk menemui dukun paling sakti di pulau Jawa -Munir bahkan ngibul kalau dukun ini paling sakti di dunia- Kasmini segera mengiyakan. Ia membujuk Wage dan lelaki itu tak bisa menolak, sebab Wage pikir, ke mana lagi mereka harus minta tolong ketika kiai paling berilmu di desanya pun sudah tak sanggup lagi menangani Gusti?
Gusti baru saja menyelesaikan ujian akhirnya ketika ia terpaksa ikut kedua orang tuanya ke Banyuwangi. Ia dijanjikan masuk ke SMA paling favorit di kota Surabaya. Gusti ingin menata kembali kehidupannya di tempat baru, di mana tak ada orang yang tahu mengenai kekacauan yang telah ia buat di sekolah menengah pertamanya.
Ia tahu bahwa kawannya tak ada yang cukup pintar hingga bisa masuk ke sekolah itu. Ia belajar dengan keras untuk menaklukan soal-soal ujian dan berusaha mengiyakan segala perintah dari kedua orang tuanya. Meskipun untuk persoalan patuh, Gusti cukup kesulitan sebab ia sendiri merasa tak bisa mengontrol emosinya tiap kali berbicara dengan kedua orang tuanya.
Munir meyakinkan Gusti bahwa dukun yang akan mereka temui pasti bisa membuatnya lebih tenang, dewasa dan bijak sebab setan toilet yang menempel di tubuh Gusti pasti kalang kabut dan terbirit-birit ketika mengetahui betapa hebatnya kesaktian si dukun. Gusti mencibir tetangganya itu di dalam hati, Dasar tukang ngibul. Duit bapakku kau incar juga akhirnya.