“Apakah si bogel masih berbaring di dasar kolam?” Mata Gusti antusias. Herman sudah datang, pertanyaan sudah dilontarkan.
Herman enggan menjawab. Ia memilih menyalakan rokok. Tak peduli betapa pengapnya ruang interogasi, ia harus tetap merokok agar pikirannya jernih sebab ia sedang berhadapan dengan seorang pembunuh berantai. Herman kemudian menawarkan rokoknya kepada tersangkanya itu, tetapi ia mendapat penolakan.
“Saya tidak merokok, terimakasih.”
Ia tertawa mendengar jawaban Gusti.”Sudah berhenti?” tanyanya lagi.
“Saya tidak pernah merokok.”
"Sial,” gerutu Herman. Di benaknya, Gusti seharusnya lebih dari sekadar pecandu rokok. Sudah sepatutnya manusia macam Gusti adalah manusia pecandu segala jenis candu. Ganja, sabu atau heroin sekalipun menjadi wajar jika pembunuh berantai itu lah yang memakainya.
“Sejak kecil, saya mengidap asma.” Gusti memberi alasan lain. Jelas ia mengada-ngada. Selalu begitu setiap ia bertemu dengan orang yang disukainya. Kepada Usman, ia bahkan pernah mengaku mengidap kanker otak sehingga umurnya hanya tinggal hitungan bulan.
Herman memainkan rokok di tangannya sembari memikirkan kalimat apa yang harus ia keluarkan untuk menanggapi pernyataan Gusti. Tak lama, ia pun membuka mulut. “Sial,” umpatnya. Sebab, menurutnya, tak ada yang pantas diucapkan di depan Gusti selain umpatan.
“Apa kau mendapat kepuasan seksual tiap kali membunuh orang-orang itu?”
“Tentu tidak. Untuk apa aku membunuh hanya demi mendapat kepuasan semacam itu? Aku bisa mendapatkannya dari orang yang kucintai,” jawab Gusti. Nada bicaranya mulai terdengar diseret dan mendayu. Jelas, ia tertarik dengan orang yang akan menyeretnya kepada kematian itu.
Herman mengejek mendengar kata cinta terucap dari mulut Gusti, “Cinta tai sapi.” Ia mengumpat lagi.
“Kamu tidak percaya padaku?” Bahasa yang digunakan Gusti kini menjadi lebih santai.
Herman jijik. Ia mengakhiri percakapan itu dengan membuat kesimpulan yang membuat Gusti tak puas.
“Sejauh yang aku lihat, kau membunuh demi uang dan demi kepuasan seksual.”
“Bagimana bisa kamu membuat kesimpulan sedangkal itu? Jangan bodoh.”
Herman tak mengubris. Ia segera mengakhiri percakapan meskipun rokoknya baru terbakar separuh. “Kembalikan dia ke dalam sel,” perintahnya pada petugas lain.
Sebenarnya, Herman tak berniat menjadwalkan interogasi malam itu. Ia terlampau lelah setelah dua hari berada di Jawa Timur. Tapi ia penasaran ingin melihat reaksi tersangkanya setelah sembilan kerangka benar-benar ditemukan di pekarangan rumah. Ternyata Gusti konsisten, sorot matanya masih sama. Herman tak menemukan rasa penyesalan secuilpun di sana.
Herman pergi begitu saja setelah rasa penasarannya hilang. Pemimpin kasus itu memilih beristirahat daripada berlama-lama mendengar ocehan menjijikan dari Gusti. Ia harus hemat energi sebab hari-harinya ke depan akan semakin sibuk. Sembilan kerangka sudah ditemukan di pekarangan belakang rumah Gusti. Berdasarkan keterangan dan cerita di dalam novel bersampul merah, sembilan seharusnya sudah cukup. Tetapi Kepolisian memutuskan melanjutkan penggalian untuk beberapa hari ke depan. Barangkali, mereka melewatkan sesuatu seperti barang bukti, alat pembunuhan atau apapun yang berkaitan dengan para korban. Atau barangkali, masih ada si mati yang sedang menunggu untuk ditemukan, yang kehadirannya bahkan tak pernah diingat oleh Gusti.
Tim inafis dengan cepat menangani kesembilan jenazah. Seluruhnya dievakuasi ke rumah sakit besar di Jawa Timur guna kepentingan penyidikan secara medis.
Tidak ada yang tak sibuk setelah penemuan masal kerangka-kerangka itu terjadi. Ratusan wartawan ke sana-ke mari. Mereka mendatangi berbagai tempat: Rumah sakit, rumah Kasmini tinggal, rumah Pak Kamto, rumah Pak RT, rumah Pak lurah, Balai desa dan sebagian lainnya memilih berkemah di sekitar lokasi di mana kerangka-kerangka itu ditemukan.
Kepala Desa sibuk mengimbau warganya agar kembali bekerja. Sebab warga desanya tiba-tiba sibuk dengan berbagai macam kegiatan kecuali bekerja. Para Ibu melewatkan kegiatan memasak, mencuci, dan bersih-bersih. Mereka sibuk membicarakan soal pekarangan rumah salah satu tetangga mereka yang tiba-tiba menjadi pekuburan masal, soal identitas orang-orang yang dibunuh itu, soal orang-orang yang sudah lama dilaporkan hilang yang kemungkinan menjadi korban, dan soal bagaimana riwayat keluarga Gusti selama ini.