Kamar menjadi gaduh. Dalam keadaan telanjang bulat, Gusti dikeroyok empat orang sekaligus. Ia diikat dengan sarung dan meringkuk di pojok kamar. Empat temannya mengawasi sambil berdiskusi.
“Kon yang dilecehkan, Din. Ngomong mau diapakan banci ini,” tantang Riswanto. Soladin diam saja. Sesungguhnya ia masih tak mengerti dengan situasi yang sedang dialaminya. Dilecehkan? Oleh teman? Laki-laki? Sungguh membuat pikirannya geli sendiri.
“Manut saja aku Ris,” jawabnya.
“Jangan Manut! Ini menyangkut harga dirimu sebagai lanang!”
Tirin dan Amin mengangguk setuju dengan provokasi Riswanto. Keduanya dalam posisi siap meninju jika sewaktu-waktu pemimpin mereka itu memberi perintah untuk kembali menghajar Gusti.
Riswanto mendekati Gusti, “Sejak kapan kon jadi banci? Jadi selama ini kon seneng lihat bokong laki-laki?” Ris hendak meludah di Wajah Gusti, tetapi Gusti telah lebih dulu menangkap niat menjijikkan itu. Meskipun dalam kondisi terjepit, ia tak mau wajahnya kena air liur Riswanto yang bau jigong sebab giginya kuning-kuning karena kebanyakan merokok. Sekejap, air liur Gusti lah yang telah lebih dulu mendarat di wajah Ris.
Riswanto mengumpat. Ia buru-buru mengelap wajahnya dengan sarung yang mengikat kedua tangan Gusti. Tirin dan Amin maju untuk meninju wajah serta menendang tubuh Gusti. Sementara Soladin yang dilecehkan justru tetap diam sejak ia dibangunkan secara tiba-tiba tadi. Sindrom ‘membeku’ yang sering dialami oleh korban pelecehan nyatanya tak memandang jenis kelamin. Soladin si anak laki-laki periang itu pun membeku saat dihadapkan dengan situasi yang menjijikan seperti itu.
Pintu digedor dari luar. Menik, anak pemilik kos datang karena terganggu. Kamarnya terletak tak jauh dari kamar-kamar yang disewakan ibunya. Waktu tidurnya hanya empat jam dalam sehari. Besok, ia harus terbang ke Jakarta untuk rapat. Ia tak rela jika empat jamnya itu diganggu oleh bocah-bocah tengil.
“Buka!” Bentak Menik. Gusti ketakutan. Urusan itu akan menjadi bencana jika orang dewasa terlibat di dalamnya. Tanpa ragu, ia segera menempelkan keningnya ke lantai. Gusti memohon pada teman-temannya agar perbuatannya itu tak dilaporkan kepada siapapun.
Riswanto tersenyum puas melihat Gusti berlutut. Matanya melirik Soladin. “Menurutmu bagaimana, Din?”
Tirin dan Amin ikut menunggu jawaban. Keadaan makin menegangkan saat pemilik kos datang ikut datang. “Nyapo to, Nik? Malem-malem kok teriak-teriak?”
“Buka saja pintunya,” Udin memerintah. Ris, Tirin, dan Amin puas. Sementara Gusti lemas.
Menik dan Ibunya tercengang melihat Gusti telanjang bulat dan diikat. Sebelum dua orang dewasa itu murka, Riswanto lebih dulu mengambil inisiatif untuk bicara, dengan sangat rinci, ia menjelaskan situasi yang sedang terjadi. Dua anak beranak itu tak percaya hal semacam itu terjadi di rumah mereka.
“Pakai bajumu dulu.” Ibu kos bicara pada Gusti tanpa melihat kearahnya. Di luar kamar, penghuni kos lainnya sudah berkumpul.
Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan kepada mereka semua. Menik dan Ibunya bersimpati pada Soladin dan tak berhenti mengutuki Gusti. Esok harinya, ia dipanggil kepala sekolah atas laporan dari keempat temannya dan juga pemilik kos. Akibatnya, Gusti harus menyerahkan surat panggilan untuk orang tuanya hari itu juga.
Saat perjalanan pulang dari Surabaya menuju kampung halamannya, Gusti banyak merenung di dalam bus. Ia mengingat hari-hari di saat ia dicemooh oleh seluruh orang di sekolah menengah pertamanya, saat mereka tahu bahwa ia menyukai Usman seperti anak laki-laki menyukai para gadis. Rasa penyesalan yang ia alami sama persis seperti saat itu. Ia berusaha untuk berpikir, menelisik, dan bertanya pada entah siapa, soal kesalahan apa yang sebenarnya telah ia perbuat hingga ia harus berkali-kali dipermalukan seperti itu.
Ia curiga bahwa hidupnya memiliki sebuah siklus. Setiap satu tahun sekali, kehancuran akan datang menghampirinya. Sama seperti kehidupan di kampung halamannya, kehidupan barunya di kota Surabaya pun terancam hancur. Tapi siklus tetaplah siklus. Perenungan saja tak akan mampu untuk menghentikannya. Rentetan peristiwanya terus berjalan dan Gusti tak memiliki cara untuk menghindarinya.
Gusti babak belur dihajar oleh Ayahnya sesaat setelah ia menyerahkan dan menceritakan apa yang telah terjadi. Kasmini, sang Ibu telah menunjukan perubahan sikap seiring usianya yang menua. Perlakuannya pada Gusti lebih lunak, meskipun tidak lebih baik.
Ia mengumpati Gusti tetapi mengobati luka-luka ditubuh bungsunya. Ia memukul dan mencubit Gusti, tetapi tidak di bagian kepalanya. Ia sedikit banyak telah sadar bahwa sikap kerasnya akan membuat anak itu makin bengal tak terkendali.
Ayahnya telampau malu untuk datang ke sekolah, begitu juga dengan Ibunya. Gusti diancam dikeluarkan jika orang tuanya tak datang untuk memenuhi panggilan dari kepala sekolah. Pada saat itu, Gusti pun mengusulkan sebuah solusi, ia ingin melanjutkan sekolah di Jakarta. Kasmini dan Wage menolak mentah-mentah.
Esoknya, Anak itu mencuri perhiasan Kasmini lalu menjualnya ke pasar sebelum kabur sendirian ke Jakarta. Beberapa hari kemudian, Kasmini dan Wage mendapat kabar dari anak keduanya bahwa Gusti telah sampai di Jakarta. Mereka pasrah. Terpaksa, Wage harus membuat surat pindah untuk keperluan sekolah Gusti di Jakarta. Sepetak sawah milik keluarga itu pun melayang demi menghidupi dan menyekolahkan si bungsu di ibu kota.
Sementara Yuli, si kakak pertama marah-marah sebab ia merasa bahwa sawah tersebut seharusnya menjadi haknya, sebab selama ini ia telah memilih tinggal di kampung untuk mengurus sawah alih-alih pergi ke Jakarta seperti dua adiknya yang lain. Sejak saat itu, hubungan Kasmini dan Yuli pun semakin dingin.
Sama seperti di Surabaya, Gusti tentu tak sembarangan ketika memilih sekolah, di sekolah barunya, ia menata kembali hidup dan reputasinya. Ia lahir kembali menjadi anak menyenangkan, cerdas dan unggul karena begitulah siklus kehidupannya.