Cinta bagi manusia seperti Gusti merupakan sesuatu yang samar. Tak pernah ada yang mencontohkannya dengan benar. Cinta Ayah dan Ibunya menciptakan rasa sakit yang tak berkesudahan, sedangkan cinta kakak-kakaknya tampak seperti seutas benang layang-layang yang murahan.
Pada satu waktu di masa lalu, Alam bahkan ikut menunjukan cinta yang ganjil ke hadapan Gusti kecil. Dari balik jendela, ia menonton dua ekor belalang sembah sedang kawin. Gairah cinta kedua binatang itu begitu besar hingga mereka terjatuh dari ranting peraduan tempat mereka bercinta. Gusti melongkok, mencari-cari keduanya. Tak mau kehilangan tontonan menarik begitu saja, anak itu kemudian berlari ke luar rumah.
Gusti menemukan mereka. Tapi ada yang aneh, satu belalang sembah sudah tak lagi memiliki kepala, dan di dalam mulut belalang sembah yang lain, kepala copot itu tinggal separuh. Sementara kepala gusti sendiri miring-miring, mengamati seluruh proses kanibalisme itu dengan penuh tanda tanya.
Belalang yang hidup terus memakan pasangannya hingga tubuh pasangannya tinggal separuh. Kemudian, dari perut belalang yang tinggal separuh itu, terlihat cacing-cacing panjang berwarna putih ligat bergeliat. Sementara belalang sembah yang hidup nampak sangat puas. Belalang itu bersiap-siap pergi, Ia telah mendapatkan nutrisi yang cukup dari si jantan untuk mengandung. Dan nutrisi pertama yang akan diterima oleh anak-anak itu berasal dari tubuh ayah mereka sendiri. Begitulah Alam menunjukkan apa itu cinta -penuh tanda tanya, tak berperasaan, dan brutal- pada Gusti kecil.
Hatinya remuk saat ditinggal begitu saja oleh kekasihnya. Saat tubuh dan jiwanya sudah dimakan habis, saat ia bahkan telah meluruhkan seluruh dendam masa lalunya.
Pertemuan kembali dengan Usman membuatnya lupa bahwa ia tak lagi memiliki tubuh dan jiwa untuk mencinta ataupun dicinta, tetapi kenyataan telah membawa kesadarannya kembali dengan begitu cepat. Kesadaran bahwa Usman yang ia damba dan inginkan sejak lama adalah manusia biasa.
Cinta Usman adalah cinta manusia pada umunya: Tak banyak tanda tanya, berperasaan, dan memiliki muara yang jelas. Cinta pemuda itu telah menemukan muara di usianya yang terbilang cukup muda. Tapi tak masalah baginya atau pun bagi manusia lain, sebab cintanya yang jelas adalah alasan yang cukup untuk ia menyegerakan sebuah pernikahan.
“Aku normal, Gus. Kukira kau sudah bertaubat. Untuk apa kau marah karena aku akan segera menikah? Kau tak takut kena azab, Gus?”