Suhita yakin suara lengkingan perempuan di dalam mimpi buruknya adalah milik sang Ibu. Perempuan yang berdasarkan cerita orang telah meninggalkannya begitu saja di terminal bus demi kawin lari dengan laki-laki dari Malaysia.
Beranjak remaja, setelah ratusan kali ia dihantui oleh mimpi buruk yang sama, gadis itu pun mulai mencari. Ia Mencari sebab mengapa ia harus didatangi mimpi tersebut, mencari kapan sekiranya ia mulai didatangi mimpi tersebut, mencari pemilik suara yang tumpang tindih di dalam mimpi tersebut dan mencari arti dari kalimat-kalimat yang keluar dari mulut si pendongeng di dalam mimpi tersebut.
Hal pertama yang ia temukan adalah soal Ibu. Samar, kenangan-kenangan soal wanita itu sekelebat hadir di dalam ingatannya. Tentang ibunya, Suhita memilih untuk tak mempercayai perkataan orang-orang sama seperti orang-orang itu tak pernah mempercayai ucapannya. Ia yakin Ibunya tak pernah meninggalkannya. Ia percaya ibunya sangat mencintainya hingga perempuan itu rela mati untuknya.
Ya. Gadis itu yakin bahwa mimpi tersebut merupakan salah satu ingatan di masa kecilnya. Ingatan itu sangat menyakitkan hingga menjelma mimpi buruk lalu meneror jiwanya. Dari mimpi tersebut, Suhita menarik kesimpulan tentang kemungkinan bahwa ibunya telah mati, bukan kawin lari.
“Di dalam mimpimu, dia memang ibu yang bisa kau banggakan, tapi tidak di dunia nyata. Wanita itu mau hidup seenaknya!”
Kalimat menyakitkan itu keluar dari mulut sang Ayah. Sejak awal, ia tak pernah suka dengan lelaki yang orang-orang bilang sebagai ayahnya itu. Hanya karena ia tak memiliki ibu, mereka kemudian menyerahkannya pada seorang lelaki yang selalu menganggap kehadirannya adalah benalu.
Ayah Suhita sudah memiliki keluarga baru ketika Suhita datang. Gadis itu berumur enam belas tahun saat diberitahu oleh pihak panti asuhan bahwa mereka telah menemukan keluarganya.
Saat bertemu, keduanya sama sekali tak memiliki rasa sayang sebagaimana dimiliki oleh Ayah dan Anak. Sang Ayah tak mungkin menolak putrinya sendiri meskipun hubungannya dengan ibu gadis itu telah lama kandas dengan cara yang buruk. Sedangkan Suhita tak punya pilihan lain selain menerima keputusan orang-orang dewasa.
Ibu tiri dan saudara-saudara tiri Suhita jelas membenci keadaan yang mendadak itu. Apalagi, mereka tahu bagaimana sejarah Ayahnya yang terpaksa menjadi duda di usia muda karena ulah istri pertamanya.
Lelaki itu diceraikan karena alasan ekonomi, sebab Ibu Suhita adalah seorang wanita karir yang mapan, sementara Ayahnya masih berstatus mahasiswa. Suhita pun selalu menganggap bahwa kehadirannya merupakan sebuah bentuk kecelakaan dalam kehidupan kedua orang tuanya.
Di dalam kamar yang letaknya jauh dari kamar-kamar penghuni rumah yang lain, di sana lah Suhita banyak menghabiskan waktunya. Ayahnya sibuk, begitu juga dengan ibu tirinya. Dua saudara tirinya membenci Suhita dan tak pernah memasukkan Suhita ke dalam dunia mereka. Kehadirannya sama sekali tak dianggap, ia diabaikan.
Satu-satunya waktu saat ia berinteraksi dengan sang Ayah adalah waktu-waktu ketika Suhita sedang sakit. Seringkali, anak itu jatuh sakit setelah atau sebelum mengalami rangkaian mimpi buruk yang sama setiap malam.
“Aku mendengar suara ibu di dalam mimpi.” Ia memberanikan diri menceritakan mimpinya kepada sang Ayah. Lelaki itu tak merespon dan pergi setelah selesai mengompres kepala Suhita.
Tiap kali ia sakit akibat dari rentetan mimpi buruk itu, ia selalu membuka tas jinjing kulit berwarna coklat. Tas itu adalah harta satu-satunya yang ditinggalkan Ibu untuknya. Di dalamnya, terdapat beberapa pakaian Suhita saat berusia lima tahun, beberapa potong pakaian milik sang Ibu, satu tas kecil berisi kosmetik dan alat mandi, foto Suhita bayi di dalam sebuah bingkai serta satu buah buku tulis.
Suhita mengendus baju-baju itu untuk membaui aroma ibunya. Ia tak pernah mencuci baju-baju milik ibunya sebab ia takut kehilangan jejak-jejak wanita itu. Ia juga tak pernah mengeluarkan isi tas coklat itu atau memasukan benda lain ke dalamnya. Kondisi tas itu masih sama seperti saat benda itu ditinggalkan bersama Suhita di terminal bus.
Catatan-catatan aneh di dalam buku tulis peninggalan ibunya adalah tulisan pertama yang gadis itu baca begitu ia bisa membaca. Awalnya, ia sama sekali tak mengerti tentang kalimat-kalimat yang ibunya tulis di sana. Tapi belakangan, ia sadar bahwa salah satu bagian dari banyaknya tulisan-tulisan itu ternyata sama persis seperti kalimat yang ia dengar dari mulut si pendongeng di dalam mimpi.
Di dalam mimpi, Suhita tak bisa melihat apapun kecuali seberkas cahaya bulan separuh yang menerobos masuk melalui satu genting kaca. Ia mendengar pintu berderit sebelum lengkingan panjang ibunya terdengar begitu menusuk di telinga. Lengkingan itu berhenti ketika tangisan anak kecil mulai terdengar, belakangan ia yakin bahwa tangisan anak kecil itu sebenarnya adalah tangisannya sendiri.