Suhita tak ingat apapun tentang terminal bus yang dikatakan kepala panti sebagi tempat di mana sang Ibu meninggalkannya. Ia tak ingat wajah ibunya, tak ingat bagaimana suara sang Ibu, apalagi senyum wanita itu. Tapi mengapa ia justru mengingat senyuman ganjil lelaki bersuara lembut itu alih-alih mengingat wajah ibunya sendiri? Gadis itu tak tahu alasannya.
Sekelebat, ia ingat pada satu peristiwa ketika ia berada di dalam pelukan seseorang. Baunya menenangkan, Suhita mengingat aroma tubuh orang yang memeluknya itu. Saat mengendus pakaian peninggalan sang Ibu, ia menemukan aroma yang sama. Jelas, pelukan itu adalah milik ibunya.
Ia tak pernah mengingat-ngingat masa lalunya hingga ia berusia delapan tahun. Saat itu, satu keluarga datang ke panti asuhan untuk merayakan ulang tahun anak mereka. Suhita dan anak-anak lainnya diperintahkan untuk mendoakan keluarga itu oleh Suster Ema, kepala panti asuhan tempat Suhita tinggal.
Suhita mengenal Ana, anak yang sedang berulang tahun itu sebab anak itu adalah teman satu kelasnya. Hubungan mereka amat baik, tetapi kadang-kadang, Suhita merasa iri pada apa-apa yang dipunya oleh Ana. Awalnya, Ia iri dengan barang-barang milik Ana: kotak pensil berwarna merah muda, bando berwarna merah muda, jam tangan berwarna merah muda, dan jepit rambut yang juga berwarna merah muda.
Ana membolehkan Suhita meminjam benda-benda miliknya. Suhita tentu senang, tetapi kesenangan itu berujung kesedihan ketika waktu pengembalian telah tiba. Gadis itu perlahan iri pada semua yang dimiliki oleh Ana, bukan hanya barang-barang, tetapi juga dengan Ayah dan Ibu milik Ana.
“Di mana Ayah dan Ibuku, Suster?”
Kepala panti itu bukan wanita yang lemah lembut. Ia adalah wanita paruh baya yang tegas, disiplin dan percaya bahwa kelembutan berlebih justru akan membuat mental anak menjadi lembek.
Akibatnya, anak-anak panti menganggap Suster Ema adalah wanita galak, jahat dan menakutkan. Sesekali, Suster Ema -dengan niat baik katanya- memukul anak-anak itu dengan rotan jika mereka melakukan kesalahan yang berulang. Tetapi dengan penuh kasih pula, ia kemudian memberi pengobatan dan pelukan.
“Kamu tidak menganggap kami semua sebagai keluarga?” Suster Ema balik bertanya. Suhita berniat teguh dan menahan rasa takutnya kali ini.
“Aku suka Suster, aku suka teman-temanku meskipun tidak semuanya, tapi aku ingin tahu apakah aku punya Ibu dan Ayah seperti Ana?”
“Jangan iri dengan kepunyaan orang lain, Suhita.”
“Aku tidak iri. Aku hanya ingin tahu tentang orang tuaku sendiri.”
“Kamu iri.”
“Tidak!” Suhita membentak. Suster Ema terkejut dan ia merasa harus mendisiplinkan anak itu.
Suhita adalah anak yang cerdas. Ia tidak banyak bicara sejak pertama kali diantar oleh petugas dinas sosial ke panti asuhan. Suster Ema pikir anak itu bisu atau cacat karena sampai usianya enam tahun, Suhita tak juga mau bicara.
Suster Ema dan pengasuh lain sempat mempertimbangkan untuk memasukannya ke sekolah luar biasa. Tetapi pada suatu sore, Suhita akhirnya membuka mulutnya.