Tak sesuai rencana dan keinginannya, Suhita gagal mendapatkan beasiswa. Status ekonomi Ayahnya membuat ia tak masuk ke dalam kategori penerima beasiswa untuk masyarakat miskin. Sedangkan untuk beasiswa prestasi akademik, nilainya yang sempat anjlok pada semester pertama di kelas sembilan membuat nilai-nilai sempurnanya di semester dua menjadi tidak berarti. Suhita terdepak dari kemungkinan mendapatkan beasiswa di kedua jalur tersebut.
Ia harus memutar otak dan menambah kenekatannya jika tetap ingin pergi ke Jakarta. Kelulusan tinggal menghitung minggu. Ayahnya menyarankan agar ia tetap berkuliah di Surabaya, ibu tirinya lebih suka jika uang suaminya tak terpakai sepeserpun untuk Suhita, dan dua saudara tirinya tak peduli apapun keputusan yang ia ambil.
“Aku harus ke Jakarta.”
“Ngeyel! Uang dari mana?” Ibu tirinya tak terima.
Suhita menunggu jawaban Ayahnya, tetapi lelaki itu beranjak dari meja makan tanpa berkata apapun. “Aku tidak akan kuliah,” ucap Suhita lagi.
“Mau kerja apa dengan ijazah SMA?” Ayahnya bertanya.
“Apa saja.”
“Hiduplah sesukamu.” Komentar Ayahnya ambigu bagi Suhita. Ia tak ingin dilarang, tak juga mengharap dukungan. Tapi sikap Ayahnya tidak diantara keduanya. Suhita lega sekaligus kecewa. Kecewa pada dirinya sendiri yang telah gagal menjadi siswa berprestasi, juga kecewa kepada Ayahnya yang terkesan masa bodoh dengan masa depannya.
Suhita datang ke panti asuhan untuk berpamitan dengan Suster Ema dan kepada orang-orang yang pernah menjadi keluarganya. Wanita itu senang dengan kedatangan Suhita. Berbeda seperti saat ia masih tinggal di panti, sikap Suster Ema sungguh jauh berbeda. Suhita diperlakukan seperti orang dewasa.
“Tidak masalah jika kamu memutuskan untuk tidak kuliah. Bekerja bukan pilihan yang buruk atau lebih buruk dari berkuliah. Paham kan maksud saya?”
Suhita tersenyum saja. Maksud kedatangannya bukan sekadar untuk berpamitan atau agar ia mendapatkan wejangan panjang Suster Ema. Tujuan utama kedatangan Suhita adalah meminta bantuan.
“Katakan pada saya, Ta. Ayahmu melarangmu kuliah? Saya pikir kamu sudah mendapatkan pekerjaan saat mengatakan akan pergi bekerja di Jakarta.”
Suhita menggeleng. Ia ragu sekaligus malu ketika hendak memulai ceritanya. Sebab hari-hari terakhirnya bersama Suster Ema dipenuhi dengan ketegangan. Tapi kini ia datang begitu saja untuk meminta bantuan.
“Ayah menyuruhku kuliah di Surabaya saja, Sus.”
“Nah! Apa masalahnya? Mengapa harus jauh-jauh pergi ke Jakarta kalau begitu? Apalagi hanya untuk bekerja.”