Ayah dan anak saling canggung di stasiun. Suhita dan Ayahnya tak berjabat tangan, mata mereka tidak saling menatap dan kalimat perpisahan mereka hanya dua kata.
“Aku pergi,” ucap Suhita.
Ayahnya meletakan tas coklat di depan Suhita. Ia mengecek barang-barang bawaan anaknya. Satu koper kecil, satu tas berwarna coklat milik ibunya dan satu tas ransel yang biasa anak itu bawa ke mana-mana.
“Hati-hati,” balas Ayahnya.
Laki-laki itu memandangi punggung putrinya yang berjalan masuk ke ruang tunggu stasiun. Dengan anak-anaknya yang lain, ia sudah terbiasa menghadapi mereka. Ia menyayangi mereka, mengkhawatirkan mereka, memarahi ketika mereka berbuat salah, dan memuji ketika mereka mendapatkan prestasi. Tetapi dengan Suhita, lelaki itu tak tahu harus berbuat apa. Naluri orang tuanya begitu kuat, tetapi perasaanya campur aduk sebab ia tak memiliki perasaan apapun kecuali naluri yang kuat itu.
Ia menyayangi Suhita tetapi tak mampu mengungkapkannya, apalagi sampai melakukan tindakan berdasarkan rasa sayangnya itu. Ia mengkhawatirkan Suhita tetapi tak bisa berbuat lebih sebab keutuhan keluarganya yang lain menjadi taruhannya.
Lelaki itu berdiri lama, menunggu punggung putrinya hingga benar-benar tak kelihatan. Di perjalanan pulang, ia diam-diam berdoa untuk keselamatan dan kesuksesan Suhita.
Suhita tak menoleh sedikitpun, apalagi melambaikan tangannya kepada sang Ayah. Keretanya datang begitu ia masuk ke ruang tunggu. Barulah saat kereta melaju meninggalkan Surabaya, ia memikirkan perpisahan yang baru saja terjadi. Ayahnya begitu dingin. Terkadang, gadis itu berpikir bahwa sifat dingin yang ada pada dirinya diturunkan oleh sang Ayah. Lalu sifat apa yang kudapat dari ibu? Suhita bertanya pada dirinya sendiri.
Suhita mengeluarkan buku tulis. Perjalanan itu menimbulkan hasratnya untuk menuliskan sesuatu. Bagaimanapun, kepergiannya kali ini merupakan fase yang tidak biasa di dalam hidupnya. Alih-alih jurnal, kini gadis itu mulai suka menulis puisi dan beberapa baris cerita tentang apa saja yang menarik minat dan perhatiannya.
Uniknya, anak itu tak bisa melepaskan kebiasaanya menulis di buku tulis meskipun ia sudah mampu untuk membeli buku diari. Ia sering menulis beberapa kalimat di ponsel, tetapi selalu memindahkannya ke dalam buku tulis. Tanpa ia sadari, ia sudah menulis sebanyak lima belas buku selama tujuh tahun terakhir.
Suhita gemar mengamati wajah orang-orang lalu mendeskripsikannya di dalam tulisan. Kebiasaan itu bermula ketika ia mulai meyakini bahwa keberadaan lelaki dengan senyum ganjil di dalam mimpinya adalah sosok nyata. Suatu saat, ketika takdir pada akhirnya mempertemukan mereka, Suhita yakin ia akan mengenali wajah si pemilik senyum itu.
Menjelang sore, kereta telah sampai di Jakarta. Sesuai dengan kebiasaanya, wajah orang-orang menjadi hal pertama yang menyedot perhatian gadis itu begitu ia keluar dari stasiun. Ia melatih dirinya sendiri untuk bisa mengingat wajah-wajah. Ia sengaja tak menelisik lebih dulu bagaimana wajah Leo lewat media sosial ataupun foto yang dikirimkan oleh Suster Ema. Ia ingin menemukan lelaki itu berdasarkan deskripsi yang ia dapat.
Tinggi badan Leo seratus delapan puluh sentimeter, umurnya dua puluh lima tahun, Ia memakai kaca mata tebal, wajahnya khas milik peranakan jawa-tionghoa, kulitnya putih, dan jalannya membungkuk. Saat Suhita melihat sekilas foto yang ada di dinding panti asuhan, Leo cukup menonjol dibandingkan dengan anak-anak lain. Menurut Suhita, aura Leo begitu berbeda dengan anak-anak lain yang tinggal di panti asuhan. Aura lelaki itu sama persis seperti Ana, seorang anak perempuan yang pernah menjadi teman karib Suhita di sekolah dasar.
Suster Ema tak menceritakan banyak hal kecuali kesuksesan dan kebaikan Leo. Satu-satunya informasi pribadi yang Suster Ema ceritakan tentang Leo adalah bahwa lelaki itu bukanlah anak yatim piatu meskipun ia telah tinggal di panti asuhan sejak kecil.
Setengah jam mengamati dan menunggu, mata Suhita menemukan fokusnya. Seorang lelaki dengan deskripsi yang ada di kepalanya berjalan mendekat ke arah pintu masuk stasiun. Mata lelaki itu tidak tertuju kepadanya, tetapi ia yakin bahwa lelaki itu adalah Leo.
Suhita melambaikan tangannya. “Kak, Leo!” serunya. Leo berhenti dan mengamati Suhita dari jauh. Matanya menyipit dari balik kaca mata tebal. Kurang yakin, ia memperbaiki posisi kacamatanya sembari kembali berjalan ke arah Suhita.
“Suhita?” Leo memastikan. Gadis itu mengangguk lalu tersenyum kikuk. Pertemuan dengan orang asing selalu membuatnya canggung. Terlebih, bertemu dengan seseorang dengan predikat sukses.
“Hai! Selamat datang di Jakarta! Menarik sekali karena aku tiba-tiba kedatangan seorang adik.” Leo merekahkan senyum yang luar biasa hangat di wajahnya. Lelaki itu ligat membantu Suhita membawa barang-barangnya. Suhita tak sempat mengomentari perkataan Leo ketika lelaki itu sudah berkata-kata lagi,
“Bagaimana perjalanannya? Sudah lama aku tidak naik kereta. Wah kapan-kapan kita pulang ke panti bersama, naik kereta, Ya! Pasti seru!”
Tergopoh-gopoh, Suhita mengikuti langkah Leo yang panjang-panjang, kupingnya sibuk menajamkan pendengaran sebab suara ribut kendaraan menenggelamkan suara lembut Leo.
“Sini, ke arah sini. Hati-hati, ya.” Leo menarik tangan Suhita sementara tangan yang lain menyeret koper dan memegang tas coklat. Mereka menyeberangi jalan besar karena Leo memarkir kendaraanya di seberang stasiun.
Sejak pertemuan tadi, Suhita belum mengeluarkan satu katapun. Leo begitu cerewet. Anehnya, Suhita sama sekali tidak terganggu. Padahal, gadis itu paling tidak suka dengan jenis manusia yang terlalu banyak bicara. Gadis peka itu langsung menemukan jawaban atas pertanyaanya sendiri mengapa ia tetap nyaman mendengarkan ocehan-ocehan orang asing di depannya itu. Leo tak hanya banyak bicara tetapi juga banyak bertindak. Tindakan lelaki itu membuat Suhita terpana. Gadis yang selama hidupnya tak pernah menerima banyak bantuan semacam itu dari seorang lelaki tentu mudah sekali tersentuh dengan jenis manusia seperti Leo.
“Terimakasih banyak, Kak Leo.” Akhirnya, Suhita mendapat kesempatan untuk mengatakan terimakasih.
Keduanya sudah berada di depan mobil jip. Saat akan naik, Suhita kesulitan karena mobil itu cukup tinggi bagi gadis yang hanya memiliki tinggi seratus lima puluh sentimeter. Leo membantunya. Biasanya, gadis itu akan menghindar ketika tubuhnya disentuh oleh laki-laki meskipun hanya di bagian tangan, tetapi dengan Leo, ia tak mau membuat lelaki itu tersinggung. Mungkin karena kata maaf telah lebih dulu diucapkan Leo sebelum ia memegang tangan Suhita.
“Terimakasih, Kak Leo.” Lagi, hanya kata terimakasih yang mampu gadis itu ucapkan.
“Mas, panggil saja Mas. Aku rindu di panggil Mas seperti di Sidoarjo dulu, Ha ha ha.”
Tanpa sadar, Suhita ikut tertawa sebab Leo memiliki jenis tawa yang menular. “Nah! Kamu cantik sekali kalau sedang tertawa,” puji Leo. Tawa Suhita langsung berhenti. Pipi tembemnya memerah. Gadis itu diliputi rasa malu sekaligus senang.