Suhita terkejut ketika Leo menawarinya untuk tinggal di rumah lelaki itu selama di Jakarta. Suster Ema pun berkata tidak apa-apa tinggal bersama Leo untuk satu atau dua hari sampai Suhita mendapatkan tempat kos, “Anggap dia sebagai kakak kandungmu sendiri. Tapi ingat, Ya. Hanya untuk satu atau dua hari saja. Dia akan membantumu mencari tempat tinggal yang sesuai dengan keuanganmu,” ucap Suster Ema pada Suhita beberapa waktu lalu.
Namun, Leo menyarankan hal lain. Suhita bimbang. Ia ingin percaya pada kebaikan dan sikap hangat Leo, tetapi apa yang akan ia katakan pada Suster Ema dan juga Ayahnya? Tinggal bersama seorang laki-laki di Jakarta? Sebelum berangkat, gadis itu berkata pada Ayahnya bahwa ia sudah mendapatkan tempat tinggal yang aman. Ayahnya percaya dan memberinya uang untuk menyokong tempat kos Suhita selama dua bulan. Selebihnya, Suhita harus berjuang sendiri untuk membayar tempat tinggalnya. Tentu penawaran Leo menggoyahkan hati gadis itu.
“Kamu harus laporan setiap hari kepada Suster Ema dan juga Ayahmu?” Nada bicara Leo menyindir, tetapi Suhita tidak tersinggung.
“Bukan begitu, tapi...,”
“Keputusan ada di tanganmu. Aku hanya memberi pilihan yang lebih menguntungkan.” Leo memutus kalimat penuh keraguan gadis itu.
“Memang apa untungnya bagi Mas kalau aku tinggal di rumah Mas Leo?”
“Oh, banyak.” Leo menyedot Es jeruknya hingga dasar gelas. Prosesi makan bakso sudah benar-benar selesai ditandai dengan habisnya es jeruk itu. Suhita meniru lelaki itu, ia menyedot es jeruknya sembari menunggu kalimat yang akan diucapkan oleh Leo.
“Pertama-“ Leo membenahi posisi duduknya. “Kita bisa lebih hemat. Biaya hidup di Jakarta tidak murah. Aku sudah tinggal di sini selama tujuh tahun. Percaya padaku, tinggal bersama akan mengurangi biaya dasar seperti listrik, air, dan juga makanan pokok.”
“Mengapa Mas tidak mencari patner untuk tinggal bersama kalau begitu?”
“Oh, aku belum cerita ya? Sudah ada dua orang tinggal di rumahku, tiga termasuk diriku. Ha ha ha.”
Suhita menghela napas dan meletakan gelasnya dengan keras di atas meja. “Kenapa tidak bilang dari tadi, Mas!”
“Wah, suaramu bisa keras juga. Ya maaf, aku lupa. Hehe. Gimana? Oke tidak? Selain itu...,”
Suhita menunggu. Siapa tahu, ada kejutan lain yang memang pantas untuk ditunggu. “Harga kamar di rumahku jauh lebih murah dibandingkan dengan yang lain. Untukmu, karena kita sama-sama anak didik Suster Ema, aku diskon sampai lima puluh persen!”
Suhita menyenderkan tubuhnya ke belakang, tapi ia lupa bahwa kursi di warung bakso itu tak memiliki senderan. Ia nyaris terjengkang jika Leo tidak menarik tangannya. “Hati-hati, dong,” kata Leo.
Suhita menertawai dirinya sendiri yang berpikir terlalu jauh di awal. Ia pikir, Leo mengajaknya untuk tinggal berdua dan tempat tinggal itu gratis. Ah, apa yang kupikirkan, sih. Batin Suhita berkecamuk dan ia malu kepada dirinya sendiri yang terlalu naif.
Status Leo sebagai pemilik rumah kos memberi jawaban pasti mengapa laki-laki itu sangat ramah. Leo tidak hanya memandang Suhita sebagai seorang adik yang harus ditolong, tetapi juga sebagai seorang penyewa yang potensial. Anehnya, Suhita tetap senang apapun alasan lelaki itu berbuat baik kepadanya. Sebab kehangatan dan keramahan Leo sama sekali tidak palsu di matanya. Sikap Leo tumbuh secara alami sebagai seseorang yang lebih tua dan seseorang yang membutuhkan penyewa baru.
“Gimana?” Leo memastikan lagi.
“Berapa biaya sewa perbulannya?” Suhita mulai realistis. Dibandingkan dengan beberapa saat yang lalu, kini ia bisa lebih santai dan berani. Sesuatu yang mengganjal seperti baru saja lepas dari benaknya.
“Berapa yang kamu sisihkan untuk biaya tempat tinggal?”
Suhita menunjukan kalkulator di ponselnya. Ada angka di sana. Leo mengangguk-angguk. “Baiklah, kamu hanya perlu membayar separuhnya.”
“Serius, Mas?”