Mereka yang memiliki jenis cinta berbeda, juga memiliki semacam radar untuk mendeteksi keberadaan satu sama lain. Radar itu lah yang mempertemukan Gusti dengan mantan kekasihnya, Brama. Begitu juga dengan Brama, Radarnya mendeteksi cinta baru tak lama setelah ia melepaskan Gusti. Alasan yang ia pakai untuk melepaskan Gusti cukup klise, sama seperti alasan-alasan perpisahan cinta pada umumnya. Padahal, setelah Gusti banyak merenung, ia pikir, tak seharusnya mereka berpisah karena alasan klise seperti kebanyakan manusia pada umumnya.
Alasan Brama bertemu dengan cinta barunya juga tak kalah umumnya. Cinta barunya itu lebih baik dari segala aspek dibandingkan dengan Gusti. Cinta barunya lebih tampan, lebih menyenangkan dan yang paling umum adalah ia lebih mapan.
Entah disengaja atau tidak, Brama kembali ke restoran tempat Gusti bekerja. Kali ini bukan orang tuanya yang bersama lelaki itu, melainkan kekasih barunya, Frenki. Gusti menerima permainan mantan kekasihnya. Saat pelayan lain hendak melayani mereka, ia merebut buku menu itu lalu berjalan dengan percaya diri menghampiri dua pelanggan barunya.
Brama bersikap seolah ia tak mengenal Gusti, begitu juga sebaliknya. Hingga mereka selesai makan, semua berjalan normal layaknya interaksi pelanggan dan pelayan. Barulah, pada interaksi terakhir, radar cinta Frenki mendeteksi bahwa Gusti mungkin saja salah satu dari mereka.
Sengaja, Gusti lebih sering menatap mata Frenki dengan tatapan yang dalam. Sengaja pula, Gusti sering menyentuh jari Frenki saat makanan dihidangkan. Suara Gusti memiliki getaran yang berbeda dari laki-laki pada umumnya. Semua itu membuat Frenki mulai mengaktifkan radarnya. Jika ia benar, ia akan mendapatkan kenalan baru. Jika ia salah, biarlah menjadi sebuah kesalahan. Sebab radar mereka memang tidak selalu benar.
Frenki mulai membalas radar Gusti. Pada saat Gusti menyodorkan nota, ia sengaja menyentuh jari-jari tangan Gusti saat menerimanya. Tiga lebar uang berlambang mawar merah diletakkan di atas nota tersebut. Padahal, pembayarannya hanya membutuhkan satu lembar pecahan lima puluh ribuan saja. “Ambil saja kembaliannya,” kata Frenki.
Brama melirik wajah Gusti. Ia ingin tahu bagaimana reakasi mantan kekasihnya itu. Tapi ia tak dapat membaca apapun. Gusti cukup tenang. Ia membungkuk sebelum mengambil uang tersebut. Matanya kemudian menatap mata Frenki, dan kedua sudut bibirnya ia naikkan ketika Frenki membalas tatapan itu. “Terimakasih,” ucap Gusti.
Gusti berlalu. Frenki telah yakin sepenuhnya bahwa radarnya tak salah mendeteksi. Sementara itu, ada semacam kepuasan aneh dari tatapan mata Brama saat menelisik wajah kekasih barunya. Rupanya, ia sengaja membawa Frenki ke restoran itu. Rupanya, ia memang berharap dua orang itu saling mendeteksi satu sama lain. Rupanya, ia sedang ingin mencoba permaianan baru di dalam kehidupan cintanya.
Minggu berikutnya, Brama dan Frenki kembali menutup akhir pekan mereka dengan makan malam di restoran itu. Gusti datang untuk melayani mereka tanpa rasa canggung. Sama seperti Brama yang memiliki rencana untuk mereka bertiga, rencana Gusti bahkan lebih gila. Pada pertemuan selanjutnya, Gusti menuliskan alamat tempat tinggalnya di balik kertas nota.
Pukul satu malam, kamar kos Gusti diketuk. Sesuai dugaannya, wajah Frenki tersenyum ramah saat ia membuka pintu dan di sampingnya, Brama tersenyum canggung pada Gusti.
Sepanjang malam, mereka bercerita satu sama lain. Frenki adalah dokter senior di salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Umurnya empat puluh tahun, dua kali lipat umur Gusti dan Brama. Gusti mulai paham, bahwa mantan kekasihnya sedang mencoba permainan cinta baru. Brama tak lagi menggunakan perasaan pada setiap hubungannya, atau sejak awal ia memang sudah seperti itu. Gustilah yang terlalu emosional saat menjalin hubungan dengan Brama, sebab lelaki itu merupakan kekasih pertama, meskipun bukan cinta pertama.
Brama dan Gusti tak berniat membongkar hubungan mereka yang sebenarnya kepada Frenki. Sampai akhir, mereka tetap berpura-pura tak pernah mengenal satu sama lain. Brama tak ingin repot menjelaskan kepada Frenki, sementara Gusti meminimalisir resiko. Sebab, rencananya butuh langkah-langkah yang super teliti.
Hubungan aneh ketiganya terus berjalan hingga berbulan-bulan. Brama dan Frenki menikmatinya tanpa curiga apapun kepada Gusti. Sementara makin hari, Gusti semakin kehilangan empati terhadap mantan kekasihnya. Belakangan, ia tahu bahwa saat mereka masih menjadi sepasang kekasih, Brama tak hanya menjalin hubungan dengannya.
“Dulu kau masih terlalu naif dan emosional. Aku tak mungkin mengatakan yang sebenarnya,” jelas Brama. Gusti tak bereaksi karena ia tahu bahwa jawaban seperti itulah yang akan keluar dari mulut mantan kekasihnya.
“Kau masih marah karena perpisahan itu? Untuk apa? Toh sekarang kita kembali bersama, bahkan keadaan sekarang lebih menyenangkan. Iya kan?” Gusti tetap tak bereaksi. Malam itu, mereka bertemu tanpa kehadiran Frenki. Pembicaraan tentang masa lalu keduanya pun tak sengaja keluar.
Brama kesal karena lawan bicaranya seolah tak mengindahkan setiap penjelasannya. “Orang sepertimu bisa bersamaku dan Frenki adalah sebuah keberuntungan. Dia itu dokter senior sekaligus dosenku. Aku mahasiswa kedokteran. Kau pelayan restoran yang kami beri kesempatan emas semacam ini. Jangan angkuh.”
“Apakah ada orang lain yang tahu soal hubungan kita bertiga?” Gusti bertanya
“Kau mau mengancam kami?”
“Bukan itu maksudku. Aku khawatir karier kalian terancam jika orang-orang tahu hubungan seperti apa yang sedang kita bertiga jalani. Hidupku, seperti yang kau bilang, tak terlalu penting. Aku hanya pelayan restoran, tak masalah jika orang tahu bagaiman caraku menjalaninya. Sedangkan kau dan Frenki berbeda. Kau sebaiknya hati-hati. Kau lupa bagaimana orang tuamu pada akhirnya tahu soal hubungan kita dulu? Bukankah mereka mengancam tak akan mengakuimu sebagai anak lagi dan menghentikan semua biaya kuliahmu?”
“Aku tak senaif dulu, Gus. Tenang saja. Kau jaga mulutmu sendiri. Selain orang-orang, Frenki juga tak boleh tahu soal pertemuan kita malam ini. Ia tak suka kita bertemu tanpa dirinya. Kita sudah sepakat.”
Gusti tersenyum kecut, sebab ia tahu bahwa mereka berdua sering bertemu tanpa dirinya. Jelas, keduanya hanya menjadikan Gusti sebagai alat tambahan demi mencapai kepuasan sempurna. Kini, telah tiba giliran Gusti untuk mencapai kepuasannya sendiri.
“Ah, bolehkah aku meminta sesuatu pada kalian?” Nada bicara Gusti berubah riang. Ia mengisyaratkan bahwa perdebatan soal masa lalu mereka sudah saatnya untuk diakhiri.
“Katakan,” jawab Brama.