“Aneh, tapi bagus. Tentang apa ini?” tanya Leo.
Suhita ragu untuk menjawab pertanyaan itu. Leo membantunya membereskan kamar. Semuanya ditata dengan rapi. Leo memberinya satu rak buku kayu berukuran kecil dari gudang. Buku Suhita tidak banyak, tetapi mencolok. Terutama lima belas buku tulis yang bermotif sama. Sebagai pembeda, ia menempeli stiker kecil bertuliskan tahun. Tahun paling lama adalah 2014, dan yang terbaru adalah tahun 2021. Buku terbaru belum terlalu banyak berisi tulisan karena ia baru saja membelinya sebelum berangkat ke Jakarta.
“Mengapa yang satu ini tidak diberi catatan tahun?” Leo sudah bertanya lagi, tak peduli pertanyaan pertama belum dijawab. “Sepertinya buku ini paling tua,” lanjutnya.
“Halo? Aku tidak sedang bicara sendiri, kan?” Leo membolak-balik buku-buku itu. Ketika menyadari sesuatu, matanya membesar, lalu ia mengajukan pertanyaan lagi, “Ah! Maafkan aku. Apakah ini semacam diari?”
“Bisa dibilang begitu,” jawab Suhita kali ini.
Leo segera menutup buku yang ada di tangannya dan merapikan yang lainnya. “Maaf ya, aku sudah lancang. Lagipala, mengapa kamu menulis diari di buku tulis?”
“Tidak apa-apa, Mas. Aku memiliki kebiasaan menulis apapun di buku tulis.” Suhita meninggalkan lemari, mendatangi Leo yang sedang menata rak buku. Diambilnya satu buku tulis peninggalan sang Ibu. “Yang satu ini paling tua,” katanya. Ia mebuka halaman pertama lalu memperlihatkannya kepada Leo.
“2005? Kau lahir tahun berapa?” tanya Leo.
“2003. Buku ini bukan punyaku, Mas.”
“Oo...milik ibumu?”
Suhita menggeleng. “Aku yakin bukan. Meskipun orang-orang berkata demikian.”
“Aku tahu pertanyaan tentang keluarga begitu sensitif bagi kita yang pernah tinggal di panti asuhan. Tapi tak masalah jika kau ingin bercerita atau bertanya apapun mengenai keluarga kepadaku. Atau sebaliknya, jika kamu sama sekali tidak nyaman membicarakannya, aku tidak akan memulai topik apapun tentang hal itu, oke?”
Suhita tersenyum. “Pelan-pelan, aku mau cerita, Mas. Karena selama ini, semua orang di panti asuhan, terutama Suster Ema selalu menempatkan topik tentang keluarga menjadi topik yang tabu untuk dibicarakan. Padahal, keluarga adalah hal yang paling membuat kita semua penasaran, Kan? Hehe.”
“Betul sekali. Tapi di sisi lain, Suster Ema selalu memberi kita pemandangan keluarga utuh, harmonis, dan bahagia. Paham tidak? Maksudku, aku benci ketika sebuah keluarga datang ke panti untuk merayakan ulang tahun, perayaan kelulusan, atau perayaan apapun itu yang berkaitan dengan anak mereka. Apa mereka tidak peduli dengan perasaan kita? Ah, sudahlah, aku jadi ngelantur.”
“Mas! Aku setuju! Akhirnya ada yang berpikiran sama denganku. Dulu, kupikir aku adalah anak yang memiliki sifat buruk. Aku mudah iri. Aku iri pada mereka yang datang bersama keluarga utuh lalu merayakan segala hal yang bisa dirayakan di panti kita. Mereka meminta doa-doa kita karena mereka menganggap doa anak-anak seperti kita pasti akan didengar oleh Tuhan. Bukankah justru sebaliknya, ya? Setiap malam aku berdoa agar memiliki banyak hal seperti mereka. Aku minta diberi keluarga utuh, dan minta orang-orang percaya pada ucapanku tentang ibu. Tapi tidak ada hasilnya sama sekali. Ha ha ha. Mereka dapat teori dari mana sih kalau doa-doa anak panti asuhan pasti manjur?”
Leo mendengarkan Suhita dengan baik. Celoteh gadis itu, yang sejak awal mereka bertemu tak pernah diperlihatkan, akhirnya meledak juga. Suara Suhita berbeda ketika ia berbicara dengan intonasi riang. Tawanya renyah dan menyenangkan untuk didengar. Mata bundarnya makin lebar dan bibirnya memiliki daya tarik sendiri. Sepersekian detik, Leo tersedot masuk ke dalam pesona gadis itu.
“Doamu dan doaku sepertinya memang kurang manjur, meskipun kita adalah anak panti asuhan. Tahu tidak kenapa?”
“Karena kita kurang tulus saat berdoa?” tebak Suhita. Leo menggeleng.
“Bukan, bukan itu jawabannya. Doa kita kurang manjur karena kita masih memiliki orang tua. Ha ha ha. Sepertinya, tuhan lebih suka mendengar doa dari anak-anak yang original yatim piatu, deh. Ha ha ha.” Tawa mereka berderai menertawakan ironi kehidupan. Puas tertawa, Suhita tergelitik untuk mengajukan pertanyaan tentang keluarga Leo.
“Kalau Mas sendiri? Siapa yang masih hidup? Ayah? Ibu?”
“Aku yatim piatu sekarang. Ibuku meninggal dua tahun lalu. Ayahku tidak ada sejak aku lahir.”
Suhita mengangguk-angguk. “Aku turut berduka, Mas.”
“Terimakasih. Tapi aku sendiri tidak terlalu merasa kehilangan. Aku tinggal di panti asuhan sejak kecil. Baru saat kuliah, aku tinggal bersama ibu yang sudah sakit-sakitan di rumah ini.”
“Kenapa tidak dari kecil Mas tinggal sama Ibu?”
“Ibuku terkena penyakit HIV,” jawab Leo enteng. Suhita tak bisa menyembunyikan wajah terkejutnya. Ia diam karena tak tahu lagi harus mengajukan pertanyaan seperti apa.
“Tanya saja kalau kamu masih penasaran soal penyakit ibuku. Aku baik-baik saja,” terang Leo.
“Beliau tidak ingin Mas ketularan, Ya?” Suhita memberanikan diri untuk bertanya lagi.
Leo mengangguk. “Ya. Padahal, HIV tak semudah itu menular. Dan ibuku adalah korban, tapi dia harus menanggung semua beban yang dibawa oleh Ayahku seumur hidupnya. Ayahku meninggal tepat setelah ibu mengetahui bahwa ada diriku di dalam dirinya. Ayah sudah sakit-sakitan ketika bertemu Ibu, tapi dia tidak mengatakan yang sesungguhnya kepada Ibu. Mungkin dia takut ditinggalkan. Entahlah,”
“Mas anak tunggal?”
“Ya. Ibu tidak pernah berpikir untuk menikah lagi. Tak seperti Ayahku, ibu tak mungkin tega menyeret orang yang ia cintai masuk ke dalam kubangan penyakit mematikan. Ibu kemudian menitipkanku kepada Suster Ema. Ah, Suster Ema adalah sepupu jauh Ibuku.”
“Oh ya? Pantas aku melihat ada kemiripan di antara kalian.”
“Masa? Ah, enggak juga deh kayaknya. Sekarang giliranmu. Jadi, ada sejarah apa dibalik buku paling tua ini?” Leo mengambil buku tulis itu lagi. Suhita hendak membuka mulutnya ketika Leo kembali bicara, “Tunggu dulu. Sebelum kamu menjawab, aku gatal ingin mengatakan sesuatu. Kupikir, tulisanmu sangat unik dan bagus, Suhita. Rasa-rasanya, aku harus berkata sekali lagi bahwa jangan sampai kamu tidak mendaftar di perusahaan penerbitan itu. Dan lagi, Suster Ema bilang, kamu sempat berniat masuk ke jurusan sastra, kan?”
Suhita mengangguk mantap. “Ya, Mas. Aku pasti akan mengirim lamaranku ke sana.”
Leo mengacungkan jempolnya. “Bagus. Anak pinter.” Ia ingin menyentuh kepala Suhita dan mengacak-acak rambut gadis itu layaknya kakak kepada adik, tetapi ia mengurungkannya. Ada perasaan sungkan yang tiba-tiba muncul. “Baiklah, ceritakan soal buku tua ini,” lanjut Leo.
Suhita memulai ceritanya. Untuk pertama kalinya, ia bercerita karena seseorang bertanya kepadanya. Dulu, ia menceritakan semua yang ia yakini agar orang lain percaya kepadanya, tetapi tak seorang pun percaya meskipun mereka mendengarkannya.
Suhita bercerita dengan sangat detail kepada Leo. Padahal, pagi tadi, ia pikir akan butuh waktu lama baginya untuk bercerita tentang ibu. Di luar dugaan, keduanya memiliki pemikiran yang nyaris sama, sehingga cerita mengalir begitu saja dari mulut dan hati keduanya. Tanpa sadar, sejak pertemuan di stasiun, mereka tak pernah berhenti bicara satu sama lain.