Seminggu di Jakarta, sang Ayah mengiriminya sebuah pesan pendek. Suhita membalas pesan itu dengan satu kata saja. Ya, untuk balasan atas pertanyaan ‘Sudah kerja?’. Setelah pesan tersebut, pesan lain dari Ayahnya rutin ia terima satu bulan sekali. Dan balasan gadis itu tak pernah lebih dari satu kata.
Suhita bekerja sebagai penulis bayangan di sebuah perusahaan penerbitan novel online. Saat mendaftar, ia mempersiapkan segalanya dengan sangat matang dan hati-hati. Dadanya berdebar-debar karena ia merasa pekerjaan ini terlampau bagus bagi dirinya yang hanya memiliki ijazah SMA. Tapi nyatanya, tak ada proses wawancara atau apapun yang membuat Suhita kesulitan. Perusahaan itu tak membutuhkan hal-hal lain kecuali satu: kemampuan menulis puluhan ribu kata dalam waktu sesingkat-singkatnya. Kendala Suhita pun hanya satu, ia tak memiliki laptop.
Lagi, Leo membantunya. Ia meminjamkan laptop lamanya yang sudah tak lagi dipakai. “Besok kalau kamu sudah punya uang lebih, bayar aku, ya!” Suhita menerima laptop itu dengan perasaan tak enak hati. Tapi ia tak punya pilihan. Ia memutuskan menerima semua bantuan dengan ikrar di dalam hatinya sendiri bahwa suatu saat nanti, ia pasti akan membalas semua kebaikan Leo.
Sehari setelah menyerahkan syarat dan mengikuti tes yang dilakukan secara online, Suhita dikirimi kontrak kerja sama. Ia senang bukan kepalang saat menandatangi kontrak tersebut. Rasanya, ia sudah menjadi pekerja profesional. Padahal, realita yang ia temui tak lama setelah ia mulai bekerja jauh berbeda dari bayangannya.
Setiap tengah malam, Suhita dikirimi outline. Dalam sehari, ia harus menyelesaikan paling tidak tiga bab cerita dengan minimal seribu kata setiap babnya. Belum lagi, jalan cerita yang disuguhkan padanya sungguh membuatnya geleng-geleng kepala.
Sebulan bekerja, Suhita tampak seperti zombie berjalan. Sebulan lalu, saat pertama kali menulis di laptop, gadis itu kewalahan karena selain di sekolah, ia sama sekali tak pernah menyentuh benda tersebut. Tapi satu bulan kemudian, kemampuan mengetiknya meningkat pesat. Tuntutan menulis ribuan kata perhari membuat jari-jarinya menyesuaikan diri dengan cepat.
Gadis itu tak berhenti dibuat heran tiap membaca outline baru yang dikirimkan. Sebagian ceritanya adalah opera sabun dengan tema perselingkuhan. Kadang-kadang alur ceritanya berbelok menjadi horor di tengah-tengah, dan ditutup dengan fantasi yang sama sekali tak masuk akal. Ia ingin protes, tapi tak ada tempat untuk protes. Ia bahkan tidak tahu siapa yang mengiriminya outline tiap malam, robotkah? Atau benar-benar manusia.
“Bagaimana dengan bayarannya?” tanya Leo.
“Begitulah. Mereka tidak mencairkan uang jika aku gagal memenuhi target kata setiap hari, minggu, dan bulan. Semua kata itu akan terakumulasi di akhir bulan.”
“Seburuk itu kah ceritanya?”
“Sangat buruuuk! Aku sampai heran, siapa sih yang membuat novel menggelikan seperti itu?”
“Tapi jangan salah. Banyak lho yang suka dan ketagihan membaca novel-novel itu.” Zizi ikut dalam obrolan makan malam.
“Oh ya?” Suhita heran. Sebab ia sama sekali tak pernah tahu di mana novel-novel itu terbit dan siapa penulisnya. Tugasnya hanya menumpahkan ribuan kata-kata tanpa makna sampai kadang ia ingin muntah. Namanya bahkan sama sekali tak tercantum di manapun pada bagian novel yang ia tulis sebab ia adalah penulis bayangan.
“Selama kau menikmatinya, lanjutkan saja.”
“Yah. Aku butuh uang, setidaknya hal itu yang bisa membuatku bertahan.”
“Mau mencoba sesuatu yang baru?” Zizi menatap mata Suhita.
“Apa?”Suhita bertanya.
“Apa?” Leo tak kalah penasarannya. Zizi melirik Leo, “Mengapa kamu ikut-ikut? Kepo, deh.”